"Mak ingin pulang ke kampung, Man!" Hanya sepotong kalimat itu dia lontarkan. Cahaya matanya bersinar menunggu jawabanku.
"Bagaimanalah aku tega membiarkan Mak sendirian di kampung. Apa kata orang? Kalaulah aku memang hidup melarat, mungkin orang maklum. Tapi ini, Mak bisa melihat sendiri kondisi, kan? Lagi pula, kapan anak Mak ini bisa berbakti?"
"Selama Mak masih hidup, berpantang bagi Mak berpangku tangan. Kalau kau ingin memberi apa-apa kepada Mak, berikan saja. Tapi Mak tak ingin kau menghentikan niat Mak bekerja. Mak masih ingin di usia senja ini, tetap bisa mencicipi hasil keringat sendiri. Kau sudah berbakti kepada Mak, Man. Dengan memberikan kesejahteraan kepada istri dan anak-anakmu, itu Mak anggap berbakti. Dengan mengajari mereka agama dan menjalankan perintah Allah, itu yang paling membuat Mak senang." Dia duduk tiba-tiba. "Jadi, kapan kita pulang?"
* * *
Kepul asap dan semerbak wangi kemplang bakar, menyeruak dari rusuk rumah. Sebuah pondok panggung tanpa dinding, beratap rumbia, tersekap kabut. Seorang perempuan usia senja, tampak seperti terkantuk-kantuk di situ. O, bukan terkantuk-kantuk. Dia tertunduk-tunduk, menjaga jangan sampai bara di dalam kotak besi di hadapannya, menjelma api dengan meniup-niupnya. Aku tahu matanya pasti pedas. Aku tahu air mata berjatuhan di balik kacamata tebal itu. Ah, Mak Khoiriyah. Kau terlalu gigih menarung hidup meskipun tubuhmu seharusnya perlu istirah.
Kususut air mata. Kututup kaca jendela mobil. Mobil melaju pelan di jalan kampung. Lambat-laun meninggalkan kepul asap itu. Lambat-laun meninggalkan kampung itu. Kemudian memasuki jalan besar dengan deretan penjual dan pembakar kemplang di pinggirnya. Kulihat ibu-ibu seumuran Mak di situ. Aku mengelus dada, melajukan mobil lebih kencang.
---sekian---
Ref. Foto : pixabay