Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kepul Asap

22 Januari 2019   13:25 Diperbarui: 22 Januari 2019   13:31 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Iyalah, bisalah kau bercakap begitu. Tapi lantaran tak ingin melihat si Iruf kecewa,  Mak mau kau ajak ke Palembang."

Aku tersenyum. Tapi hatiku sebenarnya muram. Bagaimanapun, aku telah berdusta kepada Mak. Nilai Ebtanas Iruf memang tinggi. Dia juga diterima di SMP pavorit. Hanya saja, hajatan kecil-kecilan itu, hanya bohong belaka. Aku menyiasati agar Mak mau bersamaku ke Palembang. Tinggal selamanya di sana. Agar dia berhenti pula mencari nafkah. Coba, apa kata orang. Masa' ibu seorang berpangkat di pemerintahan, masih dibiarkan bekerja membakar kemplang! Apa tak ada rasa kasihan anaknya untuk membiayai hidup si ibu?

* * *

Bukan main girangnya kedua anakku menyambut nenek mereka. Sama seperti Mak, sampai berurai air mata mengumbar tawa. Sebagai buah kegembiraan, tentulah Mak tak lupa membawa oleh-oleh untuk cucu-cucunya itu. Beberapa bungkus kemplang, dan permen aneka-rupa.

Aku tahu apa yang membuat anak-anakku begiru girang. Ya, tentu saja karena kedatangan Mak, sedikit-banyaknya mereka memiliki pembela. Misal, kalau ingin melarang mereka jangan terlalu banyak makan permen, Mak pasti membela, "Sekali-sekali tak apalah, Man!" Atau, kalau mereka belum tidur sampai larut malam. "Dongengku belum habis, Man. Lagi pula, besok kan hari libur!"

O, ooo... Tapi kondisi itu tentu tak akan berlanjut terlalu lama. Yang penting Mak bisa kuurus. Yang penting aku bisa berbakti setelah sekian lama Mak seperti enggan memberikan surga di telapak kakinya untuk kuselami.

"Kita makan-makan keluar saja Mak," kataku ketika Mak menanyakan rencana hajatan kecil-kecilan itu. Mak seperti kecewa. Tapi dia kembali bisa tertawa saat kami bersantap di pinggiran danau buatan.

"Kapan kita pulang, Man? Mungkin si Bedah kepayahan membakar kemplang kemplang pesanan. Kasihan dia kalau aku tak ikut membantu," katanya di hari lain.

"Minggu depan saja, Mak!" kilahku. "Pekerjaan di kantor sedang menumpuk!"

"Aku ingin pulang, Man!"

"Iya, Mak. Sabar, ya!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun