Tiba-tiba lapang sejauh mata memandang. Air berasa asin, tergenang sebatas pangkal bibir. Api menyala di atas sana. Panas membakar. Seolah mendidihkan otak. Dan sakit itu seperti ribuan jarum menusuk setiap pori kepala. O, kepalaku.Â
Sakit alang-kepalang. Kubentur-benturkan dia ke dinding yang tiba-tiba ada. Lalu  kepala pecah dan menyatu lagi. Kubentur-benturkan dia ke batu yang tiba-tiba ada. Lalu kepala pecah dan menyatu lagi. Dan seketika aku tersentak seperti duri tercerabut dari belitan daging.
Keringat bersimbah. Aku duduk sambil menatap seorang lelaki kuyu di cermin. Lelaki yang kehilangan mimpi-mimpi indahnya selama dua minggu ini. Lelaki yang telah lupa bagaimana bisa tidur nyenyak tanpa mimpi menyeramkan.
"Mimpi itu lagi, ya?" Saifah mengelus lembut pundakku. Selama dua minggu ini, bukan hanya tidurku yang terganggu, juga tidurnya. Saifah akan bangkit menuju dapur. Mengambil botol berisi air putih dari dalam lemari es, juga gelas dari rak. Dia kemudian mengangsurkan kepadaku. Selalu demikian seperti kali ini. Dan aku mencoba melegakan dada yang bergemuruh dengan air putih dingin itu.
"Ya, mimpi yang sama, Bu! Padahal dosa apa aku sehingga ditunjukkan siksa seperti dalam neraka?"
Pernah Haji Alim mendengar tuturku perihal mimpi itu. Menurut Haji Alim, mimpi tentang neraka dan tingkah membentur-benturkan kepala ke dinding dan batu, sebagai teguran kepada seseorang yang sering meninggalkan shalat fardhu.
Tapi tanpa berniat ria, shalat fardhu-ku lengkap. Bahkan ditambah shalat sunat. Ibadah lain-lain semisal puasa sunat, mengaji, bersedekah. Apalagi?
"Mimpi itu bunga tidur, Pak! Tak usah dipikirin! Ayo, diminum lagi airnya biar pikiran Bapak tenang. Habis itu tidur. Ini masih jam dua belas malam lho, Pak!" Saifah rebahan. Dia memejamkan kata. Sementara aku, seperti yang kerap terjadi setelah mimpi-mimpi menakutkan itu, memilih pergi ke ruang kerja. Menghidupkan tivi. Menyalakan ac. Kemudian menatap pekerjaan menumpuk di meja.
Selebihnya tak ada hal penting yang terjadi. Selain jerit tivi, bunyi nyaring ac dan kertas di meja yang riap-riapan diterpa angin ac. Aku duduk di kursi sambil tertunduk seperti pesakitan.Â
Memikirkan dosa apa yang telah kulakukan, hingga Allah menimpakan siksa yang bagiku tiada tara. Coba, siapa yang betah tidurnya terganggu hampir setiap malam? Yusuf pernah menyarankan agar aku minum pil tidur. Tapi bukankah pil tidur lebih cepat mengantarkanku ke mimpi buruk itu? Aku bukan insomnia. Aku hanya terjerat mimpi-mimpi menyeramkan.
* * *
"Anda terlihat kecapekan, Pak Rubiat?" Marsalim menepuk-nepuk punggungku. Harusnya aku sedang bersemangat mengerjakan tugas-tugas kantor, tapi kali ini hanya melamun dan sedikit terkantuk. Kemunculan Marsalim juga tak kusadari. "Kantung mata anda juga terlihat menghitam. Kurang tidur? Kalau tak enak badan, berobat saja, Pak!"
Aku melemparkan senyum. Entah enak dilihat atau tidak. Yang pasti Marsalim menggeleng-geleng. "Anda harus bugar, Pak. Kalau tak bugar, pekerjaan ini bakalan terbengkalai. Anda tak ingin dipinalti kalau kerja melampaui tenggat waktu, kan?"
Mataku lamur menatap lembar sketsa di meja. Progres pekerjaan masih lima persen dalam waktu dua minggu. Harusnya aku mengejar target, karena sesuai skedul, dalam waktu dua minggu, pekerjaan mesti mencapai sepuluh persen. Mana lagi sekarang sering hujan, hingga pekerjaan terpaksa dihentikan. Marsalim juga terus menekanku, bahwa pekerjaan harus rampung dalam waktu dua puluh minggu.
Tak ada perbincangan yang berarti selain suara dengung yang kudengar. Aku menjawab tiap kali Marsalim bertanya dengan iya atau tidak. Kepalaku seperti dibanduli batu. Kelopak mataku seolah bertambah rapat. Apakah ini persekot dari mimpi-mimpi itu sebelum pelunasan di akhirat nanti? Ingin rasanya membenturkan kepala ke meja biar aku tersadar. Agar otakku terbuka menerima semua kata-kata yang termuntah dari mulut Marsalim.
"Saya permisi! Semoga anda melaksanakan pekerjaan sesuai permintaan kami." Marsalim berdiri dan berjalan menjangkau pegangan pintu. Dia kemudian menghilang di balik pintu dengan tawa yang renyah.
Itulah yang kemudian mengalihkan jalanku sepulang kantor. Biasanya aku tak betah di luaran selain pulang ke rumah menemui istri dan anak-anak. Â Dan kini mobil mengarah rumah Pardoyo. Bujang berusia kepala empat itu, pasti akan tertawa menerima kedatanganku. Meleceh, mungkin. Tapi mimpi-mimpi telah membuatku kalah. Aku tak ingin gila dibelit stress. Tak ingin sekarat karena takut tertidur dan mimpi.
"Ha, apa yang membawamu kemari, Kawan? Masalah keluarga? Sudah kubilang, berkeluarga itu terkadang membuat hidup lebih njlimet. Coba kau turuti aku, membujang selamanya. Senang-senang saja, kan?" Pardoyo menyambutku dengan ejekan khas. Itu trik khusus agar aku tak mengejek lebih dulu tentang risiko membujang.
"Bukan masalah itu. Tapi aku tak bisa tidur nyenyak!"
"Lho?" Dia membelalak. "Aku bukan dokter yang bisa meresepkan obat tidur!"
"Aku hanya ingin kau hilangkan mimpi-mimpi menyeramkan yang menerorku dua mingguan ini." Kuseruput kopi yang dihidangkan adiknya. Meski berpantang kopi, kali ini aku melanggarnya. Stress yang berat telah membuatku lebih sering lari dari pakemku selama ini.
"Hahaha! Bukankah kau menganggapku hantu jembalang? Si murtad? Rubiat, aku hanya seorang dukun. Kau dulu tak percaya akan mantra-mantra. Kenapa sekarang kau mendekatiku? Kau ingin berselingkuh? Syirik?"
"Pokoknya bantu aku lepas dari mimpi-mimpi buruk itu!" Kuceritakan kepadanya tentang mimpi neraka dan pembenturan kepala. Dia manggut-manggut sambil memegang dagu. Entah dia paham atau tak, aku ogah perduli. Yang penting dia bisa melenyapkan mimpi-mimpi buruk itu dan mengembalikan tidurku. Mengembalikan seoarang Rubiat yang bersemangat dan menanggalkan wajah kuyunya.
* * *
Paku bumi berdentam. Tanah bergetar. Aku setengah berteriak memanggil mandor kepala. Lelaki bertubuh berat itu pun datang tergopoh. Dia membuka topi, lalu mengibas-ngibaskannya menghalau panas.
Dua minggu lebih setelah proyek dimulai, baru kali ini aku hadir di lapangan. Terpaksa, kalau tak diawasi, pekerjaan mereka lamban. Lagi pula aku tak ingin berkutat masalah mimpi menyeramkan terus. Percuma pula berharap pada uncang pemberian Pardoyo. Selama masih ada kemustahilan bagiku tentang dukun dan mistik, selama itu pula apa yang kait-mengait dengan itu, termasuk obat, tak mempan bagiku. Segala sesuatu memang berawal dari sugesti. Hingga yang mustahil bisa menjadi munasabah.
"Siap, Pak! Pekerjaan hampir mencapai enam persen!" lapor mandor kepala.
"Enam persen? Kok bisa?"
Aku telah beberapa kali memegang kendali beberapa proyek. Tak seperti biasanya berjalan mulus, kali ini hampir mirip jalan siput. Entah apa penyebabnya. Apa ini berkaitan dengan mimpi-mimpi menyeramkan itu? Atau, aku yang salah, terlalu stress hingga berimbas kepada anak buah??
Mandor kepala menjelaskan secara kasar progres pekerjaan. Aku mendengarnya seolah desisan. Paku bumi menghantam-hantam. Kepalaku bertalu. Keringat dingin terbit di kening. Mandor kepala menyangsikan kondisiku. Maka, dia mengantarku ke depan sebuah rumah buruk sekitar dua puluh meteran dari lokasi kerja.
"Aku baik-baik saja. Teruslah bekerja." Kuseka keringat. Mandor kepala berlari-lari kecil meninggalkanku. Sesaat tenang setelah kusandarkan badan ke tiang penyangga rumah buruk itu.
Seorang lelaki tua kemudian membuka pintu rumah. Dia berdiri di sebelahku.
"Pekerja di lokasi itu, ya?" Dia menunjuk ke arah paku bumi.
"Ya, Pak!" jawabku singkat. Sedikit berdusta.
"Kalau saja aku bisa bertemu bos perusahaan yang bekerja di situ, ya...alangkah baiknya." Dia mengangsurkan botol berisi air putih kepadaku. Aku tersenyum. Menampik halus.
Perasaanku tak nyaman. "Kenapa rupanya, Pak?"
"Sudah beberapa hari ini istriku merepet terus. Kepalanya suka pusing mendengar suara paku bumi menghantam-hantam. Aku sudah berbicara kepada mandor agar menghentikan pekerjaannya. Ya, tapi tak ada hasil. Â Kalau kami pindah dari sini sementara pekerjaan pembangunan gedung itu belum selesai, mau pindah ke mana?"
Bersama lelaki tua itu aku masuk ke dalam rumah. Seorang perempuan tua tengah duduk melamun di atas bale-bale. Setiap kali paku bumi menghantam tiang pancang, seketika dia tersentak. Seketika dia menjambak rambut menahan sakit.
Aku kasihan melihatnya. Sebagai pemilik proyek, seharusnya aku memikirkan kondisi mereka yang tinggal di sekitar lokasi proyek. Maka, dengan niat tulus, aku mengajak mereka tinggal sementara di sebuah rumah milikku.
"Bapak dan ibu tinggal dulu sementara di sana. Kebetulan belum ada yang mengontrak."
Lelaki tua itu tertunduk. "Kami tak ada uang untuk membayar kontrakannya, Pak!"
"Ah, tak usah dipusingkan. Saya malahan akan memberitahu bos perusahaan itu agar memberi uang ganti rugi atas ketidaknyamanan yang Bapak dan Ibu alami."
Meski sedikit menolak, belakangan mereka mau pindah juga ke rumah itu.
* * *
Malam ini aku tak dapat menahan kantuk. Setelah rebahan di kasur, tiba-tiba aku langsung tertidur. Aku baru tersentak setelah istri membangunkanku untuk shalat shubuh. Dan tiba-tiba pula aku berseru gembira.
"Pagi-pagi kok sudah ribut begitu, Pak!"
Aku menjawab dengan senyuman.
Mimpi menyeramkan itu ternyata tak mengunjungi aku malam ini. Apakah berkat uncang pemberian Pardoyo? Oh, bukan! Aku ingat lelaki tua dan istrinya. Ya, mungkin lantaran mereka. Terima kasih ya, Allah!
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H