"Ya, Pak!" jawabku singkat. Sedikit berdusta.
"Kalau saja aku bisa bertemu bos perusahaan yang bekerja di situ, ya...alangkah baiknya." Dia mengangsurkan botol berisi air putih kepadaku. Aku tersenyum. Menampik halus.
Perasaanku tak nyaman. "Kenapa rupanya, Pak?"
"Sudah beberapa hari ini istriku merepet terus. Kepalanya suka pusing mendengar suara paku bumi menghantam-hantam. Aku sudah berbicara kepada mandor agar menghentikan pekerjaannya. Ya, tapi tak ada hasil. Â Kalau kami pindah dari sini sementara pekerjaan pembangunan gedung itu belum selesai, mau pindah ke mana?"
Bersama lelaki tua itu aku masuk ke dalam rumah. Seorang perempuan tua tengah duduk melamun di atas bale-bale. Setiap kali paku bumi menghantam tiang pancang, seketika dia tersentak. Seketika dia menjambak rambut menahan sakit.
Aku kasihan melihatnya. Sebagai pemilik proyek, seharusnya aku memikirkan kondisi mereka yang tinggal di sekitar lokasi proyek. Maka, dengan niat tulus, aku mengajak mereka tinggal sementara di sebuah rumah milikku.
"Bapak dan ibu tinggal dulu sementara di sana. Kebetulan belum ada yang mengontrak."
Lelaki tua itu tertunduk. "Kami tak ada uang untuk membayar kontrakannya, Pak!"
"Ah, tak usah dipusingkan. Saya malahan akan memberitahu bos perusahaan itu agar memberi uang ganti rugi atas ketidaknyamanan yang Bapak dan Ibu alami."
Meski sedikit menolak, belakangan mereka mau pindah juga ke rumah itu.
* * *