Setiap kali berbicara, mulut para lelaki yang beriring menuju sungai itu, mengeluarkan sesuatu seperti asap knalpot. Tentu berbaur dengan bau masam, bau jengkol atau pete, pun bau kelat rokok. Masing-masing mereka menangkupkan sarung sebatas kepala. Dingin yang menggigit menjelang shubuh, membuat tubuh-tubuh kurus liat itu menggigil.
Sarmin yang duluan turun ke sungai, lalu menumpukan kedua telapak kaki di atas dua buah batu sebesar kepala yang berdiri sejajar. Dia menarik kretek, menyalakan dan membiarkan pikirannya hanyut seperti sesuatu yang dihanyutkannya dengan ikhlas. Agak ke hulu, Saotik membasuh wajah. Sementara Murdin langsung menceburkan badan ke dinginnya sungai.
Sarmin mendekati Saotik setelah hajatnya selesai. "Katamu si Etek pulang dari Jakarta?"
"Iya! Mungkin nanti siang dia tiba naik ALS. Yang patas ber-ac!"
"Kabarnya dia kaya-raya. Mungkin dia membawa banyak oleh-oleh." Murdin menyelesaikan mandinya. Dia naik ke pinggir sungai dan mengeringkan badan sambil melompat-lompat. Sesekali dia meneleng-nelengkan kepala karena telinganya berdengung kemasukan air.
"Apa dia masih mengenal kita?"
"Hahaha, bisa jadi tak lagi! Dia pasti melupakan kita. Dia lebih mengenal  orang Jakarta yang hebat-hebat."
"Pernah beberapa kali dia masuk tivi."
"Dia artis, ya?"
Pembicaraan terhenti. Gema azan shubuh yang dikumandangkan Liban si suara serak, membuat mereka bergegas naik menuju musholla. Nanti saja berbincang-bincang lagi tentang si Etek.
Ketika matahari mulai terik menerangi Kampung Manaon, riuhlah perbincangan orang di lapau si Ijon. Bermacam-macam yang dibualkan. Tapi semua tetap menjurus kepada si Etek.
Begini. Si Etek itu sudah lebih sepuluh tahun merantau ke Jakarta. Terkabar di tahun pertama dan kedua, dia bekerja di perusahaan kontraktor. Tapi perusahaan kontraktor itu bangkrut, dan hilanglah kabar kemegahan si Etek. Tiga tahun belakangan ini, namanya kembali harum. Sesekali wajahnya nampang di tivi lapau si Ijon yang layarnya sering seperti dirubung lebah itu. Belum lagi di hari raya idul adha tahun kemarin, dia berkurban seekor sapi. Selain dia, ayah-emaknya, nebeng pula empat kerabat yang mendekat-dekatkan diri kepada keluarga Etek, sekadar menggenapkan tujuh orang peserta kurban.
"Etek pasti bertambah tampan saja."
"Dia sudah menikah belum?"
"Kabarnya belum."
"Mampuslah kita. Rafiah Mun pasti digaetnya."
"Atau si Siti anak kepala kampung?"
"Kabarnya pak lurah ikut menyambut Etek."
"Ada gordang sambilan juga?"
"Ya, nanti dia diarak dengan tarian tor-tor, pencak silat, dikalungi ulos, juga ada gendang dan talempong."
"Hebat benar dia."
"Enak betul menjadi artis."
Suara perbincangan saling-silang dengan denting gelas beradu piring. Tak jelas lagi siapa pemilik lapau, apakah Ijon atau orang-orang yang merubung itu. Tapi sungguh ada yang berbeda. Biasanya lapau hanya dirubung bual-bualan dan suara tivi yang kemerosok. Sekarang obrolan nyata tentang seorang Etek. Lelaki yang di masa kecilnya sangat dekil dan ingusan. Lelaki yang selalu menjadi bulan-bulanan jitak teman sebaya atau yang lebih tua. Lelaki yang telah diramalkan tetap menjadi kerbau di sawah seperti rata-rata lelaki Kampung Manaon. Namun siapa yang bisa menebak takdir? Apa saja bisa terjadi. Seorang jongos sekalipun, bisa menjadi permaisuri raja.
Banyak pula yang memuji-muji kebaikan hati Etek, keramah-tamahan keluarganya. Padahal dulu, orang-orang selalu menuding emaknya, perempuan tak benar. Sebelum menikah dengan Sulaiman, dia sudah hamil duluan. Ketika Sulaiman sedang merantau ke Medan, Etek terlahir kurang bulan. Etek tak mencecap bangku sekolah, kecuali belajar kepada Angku Guru di kelas kambing---karena mereka belajar-mengajar di belakang barak kambing Sutan Baringin---selama dua tahun lebih. Cukuplah baginya bisa membaca berpatah-patah. Banggalah dia berhitung dengan sepuluh jari tangan, yang bila menghitung berbelas-belas atau lebih, dia terpaksa mengikutkan jari kaki, juga kancing baju. Tapi sekali lagi, siapa yang mengira orang semelarat dia bisa sehebat sekarang. Maka janganlah sekali-sekali menganggap remeh seseorang pada waktu ini, karena ke depan bisa-bisa dia yang berbalik menganggap remeh dirimu.
Talempong kemudian bertalu-talu menjelang pukul dua sore. Jalan tanah yang sempit, dijejali orang-orang. Alangkah lama Etek baru mencium aroma kampungnya. Alangkah rindu jelata yang seperti belatung menggerumit ingin membaui parfum berbeda dari seorang Etek. Bukan bau masam seperti yang sudah-sudah. Mungkin bau bulgary, paris hilton, eternity atau apalah parfum-parfum mahal yang wadahnya saja tak pernah dijamah jelata-jelata itu.
Pak lurah mengenakan batik, karena dia ingin mengindonesia, bukan seperti pak kelapa kampung yang mengenakan pakaian adat Batak. Emak-emak yang menggendong anaknya seperti pamflet-pamflet sambutan kehadiran tamu yang mungkin jumawa itu. Maka begitu di jalan yang berlobang-lobang terlihat bis ALS terseok-seok dan kepayahan, meriahlah teriakan orang-orang. Pak lurah mematut-matutkan peci. Salauddin dan Munsir siap-siap beradu pencak di ambang jalan kampung.
Bis itu mendekat dan berhenti mendadak. Puluhan kepala menghadap ke keramaian. Puluhan pasang mata takjub. Siapalah gerangan raja yang akan disambut? Ketika seorang lelaki yang bertudung menutupi separuh wajahnya keluar dari pintu bis, teriakan "Etek, Etek" seperti irama onang-onang---dendang Batak---mendayu-dayu. Lelaki itu tersenyum. Dia meminta agar para penyambut jangan memangilnya  Etek, tapi Ramon Loebis, dengan memencongkan bibir saat mengucapkan kata Loebis itu.
Ah, tak usahlah berpening-pening lagi orang kampung. Raja itu sudah datang membawa perempuan cantik dengan pakaian yang membuat mata silau. Beberapa tua-tua sampai beristigfar. Disusul seorang lelaki tegap dan beranting yang membawa dua tas beroda. Besar-besar dan bertuliskan president di bagian menempelnya pegangan tas-tas itu. Dan berkriat-kriot rodanya menelusuri jalan tanah, manakala si lelaki tegap beranting menyeret keduanya dengan raut yang menggerutu.
Begitu hebatkah Etek? Begitu makmurkah dia? Duhai, tak ada lagi yang bisa menampik! Apalagi ketika kenek bis menurunkan dua kardus besar dari bagasi. Pastilah oleh-oleh! Beberapa lelaki yang merasa bertalian dekat dengan Etek---meski sebatas kawan kecil---buru-buru memanggul dua kardus itu. Harapan utama adalah kelak beroleh satu oleh-oleh yang mustahil ditemukan di Kampung Manaon, maupun di pasar kecamatan.
Salam-salaman hangat mengawali setiap langkah Etek. Lambai-lambaian menyusul kepada orang-orang yang tak bisa menjangkau, di tepi, di tebing-tebing. Betapa tampannya Etek sekarang! Mungkin terbetik pikiran itu di masing-masing kepala.
Etek---sebenarnya seperti digiring---memasuki rumah kepala kampung yang berhalaman lebar. Dia ditaburi beras, menyusul seorang nenek yang membawa nasi dan seekor ayam panggang utuh di atas nampan merah bunga-bunga. "Turupa, upa, upa...." Begitu si nenek meneriakkan sesuatu. Orang di halaman, menyemut. Gordang sambilan ditabuh. Adu pencak di halaman lebar, masih seru. Tot-tor berpindah dari halaman ke panggung setinggi semeter yang berdekatan dengan gordang sambilan.
Segala cerita bergaung dari mulut Etek, setelah saling salam, saling peluk, saling cium, selesai diterima oleh kaum kerabat dan handai taulan. Hanya belasan orang. Karena kalau sampai puluhan, mungkin rumah kepala kampung akan berderak dan roboh.
Etek bercerita panjang lebar. Tentang kehidupan di Jakarta. Tentang kemewahan. Tentang kekayaan. Orang-orang yang mendengar bagaikan menyimak dongeng. Dalam benak mereka, Jakarta itu sangat jauh dan susah dijamah. Pernah sekali Parlindungan menjelajah ke negeri gemerlap itu. Tapi dia tak mujur seperti Etek. Dia menggelandang di sana, dan pulang kampung menjadi bahan perbincangan orang. Kata mereka, Etek berbeda dari yang lain. Garis tangannya lurus dan mantap. Jadi, jangan coba-coba berlaku seperti dia, kecuali akan kasep seperti si Parlindungan itu.
"Bilakah kau kawin?" Akhirnya emak si Etek membuka perbincangan. Apalagi yang diharapkan orangtua selain memiliki menantu dan tak sabar menunggu cucu.
Wajah Etek memerah. "Belum lagi, Mak! Belum ada jodoh."
Perempuan menyilaukan mata yang duduk di sebelah Etek mempertontonkan gigi yang putih mengilat. "Kalau kawin mungkin sudah. Menikah saja belum." Dia tersipu.
Emak si Etek bingung. Orang-orang yang duduk melingkar di ruang depan rumah kepala kampung, sama bingungnya. Tapi tak usahlah berlama-lama, kedatangan Etek dan dua temannya, bukan untuk dibingung-bingungkan. Mereka kemudian bersantap, lalu Etek membagi-bagikan oleh-oleh ke beberapa kerabat, juga teman-teman Etek masa muda, seperti tiga bungkus rokok menthol kepada Sarmin, Murdin dan Saotik.
Seolah tak habis-habis waktu berbincang, walapun akhirnya pak lurah permisi pulang. Walaupun azan ashar berkumandang di masjid yang selemparan batu dari rumah kepala kampung. Tapi, hampir seluruh lelaki dewasa permisi untuk mengerjakan shalat ashar. Merasa sebagai musafir, Etek dan kedua temannya menunda shalat.
"Nantilah. Masih capek rasanya," kata Etek sambil mengangkat tangan ke arah Sarmin.
Emaknya masih dipusingkan masalah menantu. Maka dia beringsut mendekati Etek. "Kau coba dekatilah si Siti anak kepala kampung. Dia alim, tamatan pesantren. Atau Rafiah Mun. Dia guru sekolah. Apalagi? " Dia kemudian berbisik karena tak ingin didengar kawan si Etek. "Aku tak ingin kau menikahi perempuan kota. Takut tak baik perangainya."
Etek tak menjawab. Dia membiarkan tanya dan harap emaknya mengapung di udara dan pergi diterbangkan angin ke seberang bukit. Sementara ketika malam menyungkup kampung, beberapa lelaki sudah berbincang di lapau si Ijon.
"Kau tak lihat gaya si Etek, Murdin? Sepertinya ada yang lain." Sarmin menatap wajah temannya lekat-lekat.
"Lain bagaimana?"
"Dia seperti etek-etek....."
"Memang namanya si Etek, kan!" sambut  Saotik sekalian menyambut sepiring ubi goreng dari tangan Ijon.
"Bukan etek itu maksudku. Tapi etek-etek atau kebanci-bancian. Paham?"
"Dia memang sudah pas dengan gaya seperti itu. Kalau muncul di tivi, Etek kan selalu kebanci-bancian. Itu tuntutan peran." Murdin pernah belajar teater ketika berkunjung ke rumah sepupunya di Sidimpuan, jadi punyalah dia sedikit pengetahuan tentang seni peran.
"Manalah boleh peran di tivi dibawa ke dunia nyata." Sarmin tetap menyimpan syakwasangka.
"Entahlah!"
Tivi menyiarkan Dunia Dalam Berita dengan pembaca berita Yasir Denhas. Ajaib tak ada bunyi kemerosok dan gerombolan lebah di layar kaca. Seluruh mata tertuju melihat perang antara Israel dan Palestina. Sejenak mereka melupakan Etek.
* * *
Kembali menjadi kerbau di sawah. Musim mencangkul tiba. Sarmin, Murdin dan Saotik mengeluarkan segenap tenaga demi menggemburkan tanah hingga berubah laksana lumpur. Saat itulah Pane berlari tunggang-langgang dari arah kampung. Dia menjerit-jerit. Suaranya timbul-tenggelam sebab berulangkali dia terpeleset di pematang dan terjerembab di kubangan lumpur.
"Gawat!" Napas Pane berdengos seperti kuda kelelahan. "Etek berbuat tak senonoh di kebun karet Jalatong." Sarmin berhenti mencangkul. Dua temannya berbuat sama dan berlari mendekat.
"Maksudmu?" Sarmin melotot. "Sudah kuduga. Orang kota memang sering berbuat tak benar."
"Tak semua, Sarmin. Etek hanya pengecualian," bantah Saotik. "Lalu ke mana dia sekarang?"
"Diusir orang-orang dari kampung kita."
"Kedua temannya?"
"Sama! Mereka sama-sama minggat."
"Bagaimana orang tua dan kerabat Etek?"
"Kompak mengusirnya."
Samin menggeleng-geleng. "Sudah kuduga, dia pasti berbuat tak benar dengan perempuan menyilaukan mata itu. Berpakaian saja tak benar."
"Bukan dengan perempuan itu dia berbuat."
"Lalu dengan perempuan kampung kita? Awas dia!" geram Murdin.
"Kalian ingat lelaki beranting itu? Dengan dialah Etek berbuat tak senonoh."
Kontan Sarmin, Murdin dan Saotik mual. Segera mereka menginjak-injak rokok menthol pemberian si Etek.
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H