Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Si Etek Pulang Kampung

19 Januari 2019   13:41 Diperbarui: 21 Januari 2019   16:49 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suara perbincangan saling-silang dengan denting gelas beradu piring. Tak jelas lagi siapa pemilik lapau, apakah Ijon atau orang-orang yang merubung itu. Tapi sungguh ada yang berbeda. Biasanya lapau hanya dirubung bual-bualan dan suara tivi yang kemerosok. Sekarang obrolan nyata tentang seorang Etek. Lelaki yang di masa kecilnya sangat dekil dan ingusan. Lelaki yang selalu menjadi bulan-bulanan jitak teman sebaya atau yang lebih tua. Lelaki yang telah diramalkan tetap menjadi kerbau di sawah seperti rata-rata lelaki Kampung Manaon. Namun siapa yang bisa menebak takdir? Apa saja bisa terjadi. Seorang jongos sekalipun, bisa menjadi permaisuri raja.

Banyak pula yang memuji-muji kebaikan hati Etek, keramah-tamahan keluarganya. Padahal dulu, orang-orang selalu menuding emaknya, perempuan tak benar. Sebelum menikah dengan Sulaiman, dia sudah hamil duluan. Ketika Sulaiman sedang merantau ke Medan, Etek terlahir kurang bulan. Etek tak mencecap bangku sekolah, kecuali belajar kepada Angku Guru di kelas kambing---karena mereka belajar-mengajar di belakang barak kambing Sutan Baringin---selama dua tahun lebih. Cukuplah baginya bisa membaca berpatah-patah. Banggalah dia berhitung dengan sepuluh jari tangan, yang bila menghitung berbelas-belas atau lebih, dia terpaksa mengikutkan jari kaki, juga kancing baju. Tapi sekali lagi, siapa yang mengira orang semelarat dia bisa sehebat sekarang. Maka janganlah sekali-sekali menganggap remeh seseorang pada waktu ini, karena ke depan bisa-bisa dia yang berbalik menganggap remeh dirimu.

Talempong kemudian bertalu-talu menjelang pukul dua sore. Jalan tanah yang sempit, dijejali orang-orang. Alangkah lama Etek baru mencium aroma kampungnya. Alangkah rindu jelata yang seperti belatung menggerumit ingin membaui parfum berbeda dari seorang Etek. Bukan bau masam seperti yang sudah-sudah. Mungkin bau bulgary, paris hilton, eternity atau apalah parfum-parfum mahal yang wadahnya saja tak pernah dijamah jelata-jelata itu.

Pak lurah mengenakan batik, karena dia ingin mengindonesia, bukan seperti pak kelapa kampung yang mengenakan pakaian adat Batak. Emak-emak yang menggendong anaknya seperti pamflet-pamflet sambutan kehadiran tamu yang mungkin jumawa itu. Maka begitu di jalan yang berlobang-lobang terlihat bis ALS terseok-seok dan kepayahan, meriahlah teriakan orang-orang. Pak lurah mematut-matutkan peci. Salauddin dan Munsir siap-siap beradu pencak di ambang jalan kampung.

Bis itu mendekat dan berhenti mendadak. Puluhan kepala menghadap ke keramaian. Puluhan pasang mata takjub. Siapalah gerangan raja yang akan disambut? Ketika seorang lelaki yang bertudung menutupi separuh wajahnya keluar dari pintu bis, teriakan "Etek, Etek" seperti irama onang-onang---dendang Batak---mendayu-dayu. Lelaki itu tersenyum. Dia meminta agar para penyambut jangan memangilnya  Etek, tapi Ramon Loebis, dengan memencongkan bibir saat mengucapkan kata Loebis itu.

Ah, tak usahlah berpening-pening lagi orang kampung. Raja itu sudah datang membawa perempuan cantik dengan pakaian yang membuat mata silau. Beberapa tua-tua sampai beristigfar. Disusul seorang lelaki tegap dan beranting yang membawa dua tas beroda. Besar-besar dan bertuliskan president di bagian menempelnya pegangan tas-tas itu. Dan berkriat-kriot rodanya menelusuri jalan tanah, manakala si lelaki tegap beranting menyeret keduanya dengan raut yang menggerutu.

Begitu hebatkah Etek? Begitu makmurkah dia? Duhai, tak ada lagi yang bisa menampik! Apalagi ketika kenek bis menurunkan dua kardus besar dari bagasi. Pastilah oleh-oleh! Beberapa lelaki yang merasa bertalian dekat dengan Etek---meski sebatas kawan kecil---buru-buru memanggul dua kardus itu. Harapan utama adalah kelak beroleh satu oleh-oleh yang mustahil ditemukan di Kampung Manaon, maupun di pasar kecamatan.

Salam-salaman hangat mengawali setiap langkah Etek. Lambai-lambaian menyusul kepada orang-orang yang tak bisa menjangkau, di tepi, di tebing-tebing. Betapa tampannya Etek sekarang! Mungkin terbetik pikiran itu di masing-masing kepala.

Etek---sebenarnya seperti digiring---memasuki rumah kepala kampung yang berhalaman lebar. Dia ditaburi beras, menyusul seorang nenek yang membawa nasi dan seekor ayam panggang utuh di atas nampan merah bunga-bunga. "Turupa, upa, upa...." Begitu si nenek meneriakkan sesuatu. Orang di halaman, menyemut. Gordang sambilan ditabuh. Adu pencak di halaman lebar, masih seru. Tot-tor berpindah dari halaman ke panggung setinggi semeter yang berdekatan dengan gordang sambilan.

Segala cerita bergaung dari mulut Etek, setelah saling salam, saling peluk, saling cium, selesai diterima oleh kaum kerabat dan handai taulan. Hanya belasan orang. Karena kalau sampai puluhan, mungkin rumah kepala kampung akan berderak dan roboh.

Etek bercerita panjang lebar. Tentang kehidupan di Jakarta. Tentang kemewahan. Tentang kekayaan. Orang-orang yang mendengar bagaikan menyimak dongeng. Dalam benak mereka, Jakarta itu sangat jauh dan susah dijamah. Pernah sekali Parlindungan menjelajah ke negeri gemerlap itu. Tapi dia tak mujur seperti Etek. Dia menggelandang di sana, dan pulang kampung menjadi bahan perbincangan orang. Kata mereka, Etek berbeda dari yang lain. Garis tangannya lurus dan mantap. Jadi, jangan coba-coba berlaku seperti dia, kecuali akan kasep seperti si Parlindungan itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun