"Memang namanya si Etek, kan!" sambut  Saotik sekalian menyambut sepiring ubi goreng dari tangan Ijon.
"Bukan etek itu maksudku. Tapi etek-etek atau kebanci-bancian. Paham?"
"Dia memang sudah pas dengan gaya seperti itu. Kalau muncul di tivi, Etek kan selalu kebanci-bancian. Itu tuntutan peran." Murdin pernah belajar teater ketika berkunjung ke rumah sepupunya di Sidimpuan, jadi punyalah dia sedikit pengetahuan tentang seni peran.
"Manalah boleh peran di tivi dibawa ke dunia nyata." Sarmin tetap menyimpan syakwasangka.
"Entahlah!"
Tivi menyiarkan Dunia Dalam Berita dengan pembaca berita Yasir Denhas. Ajaib tak ada bunyi kemerosok dan gerombolan lebah di layar kaca. Seluruh mata tertuju melihat perang antara Israel dan Palestina. Sejenak mereka melupakan Etek.
* * *
Kembali menjadi kerbau di sawah. Musim mencangkul tiba. Sarmin, Murdin dan Saotik mengeluarkan segenap tenaga demi menggemburkan tanah hingga berubah laksana lumpur. Saat itulah Pane berlari tunggang-langgang dari arah kampung. Dia menjerit-jerit. Suaranya timbul-tenggelam sebab berulangkali dia terpeleset di pematang dan terjerembab di kubangan lumpur.
"Gawat!" Napas Pane berdengos seperti kuda kelelahan. "Etek berbuat tak senonoh di kebun karet Jalatong." Sarmin berhenti mencangkul. Dua temannya berbuat sama dan berlari mendekat.
"Maksudmu?" Sarmin melotot. "Sudah kuduga. Orang kota memang sering berbuat tak benar."
"Tak semua, Sarmin. Etek hanya pengecualian," bantah Saotik. "Lalu ke mana dia sekarang?"