"Bilakah kau kawin?" Akhirnya emak si Etek membuka perbincangan. Apalagi yang diharapkan orangtua selain memiliki menantu dan tak sabar menunggu cucu.
Wajah Etek memerah. "Belum lagi, Mak! Belum ada jodoh."
Perempuan menyilaukan mata yang duduk di sebelah Etek mempertontonkan gigi yang putih mengilat. "Kalau kawin mungkin sudah. Menikah saja belum." Dia tersipu.
Emak si Etek bingung. Orang-orang yang duduk melingkar di ruang depan rumah kepala kampung, sama bingungnya. Tapi tak usahlah berlama-lama, kedatangan Etek dan dua temannya, bukan untuk dibingung-bingungkan. Mereka kemudian bersantap, lalu Etek membagi-bagikan oleh-oleh ke beberapa kerabat, juga teman-teman Etek masa muda, seperti tiga bungkus rokok menthol kepada Sarmin, Murdin dan Saotik.
Seolah tak habis-habis waktu berbincang, walapun akhirnya pak lurah permisi pulang. Walaupun azan ashar berkumandang di masjid yang selemparan batu dari rumah kepala kampung. Tapi, hampir seluruh lelaki dewasa permisi untuk mengerjakan shalat ashar. Merasa sebagai musafir, Etek dan kedua temannya menunda shalat.
"Nantilah. Masih capek rasanya," kata Etek sambil mengangkat tangan ke arah Sarmin.
Emaknya masih dipusingkan masalah menantu. Maka dia beringsut mendekati Etek. "Kau coba dekatilah si Siti anak kepala kampung. Dia alim, tamatan pesantren. Atau Rafiah Mun. Dia guru sekolah. Apalagi? " Dia kemudian berbisik karena tak ingin didengar kawan si Etek. "Aku tak ingin kau menikahi perempuan kota. Takut tak baik perangainya."
Etek tak menjawab. Dia membiarkan tanya dan harap emaknya mengapung di udara dan pergi diterbangkan angin ke seberang bukit. Sementara ketika malam menyungkup kampung, beberapa lelaki sudah berbincang di lapau si Ijon.
"Kau tak lihat gaya si Etek, Murdin? Sepertinya ada yang lain." Sarmin menatap wajah temannya lekat-lekat.
"Lain bagaimana?"
"Dia seperti etek-etek....."