Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Ibu, Ubi dan Bui

17 Januari 2019   10:10 Diperbarui: 17 Januari 2019   16:07 850
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: venturebeat.com

"Kau tak ingat orang-orang berseragam yang datang ke rumahku beberapa hari lalu?"

Aku mengernyit. Sekilas kuingat orang-orang berseragam mendatangi Ibu. Tapi aku tak mau ikut campur. Selain karena lelah sepulang kerja lembur, aku juga tak ingin mencampuri urusan orang. Siapa tahu itu salah seorang teman anak-mantu Ibu atau keluarga bekas pejuang kemerdekaan. Mungkin kehadiranku meramaikan suasana, hanya menambah rikuh, sehingga ramah-tamah di antara mereka menjadi kaku.

"Aku ingat, Bu!"

"Nah, orang-orang itulah yang menganggap mendiang suamiku sampah. Bagaimana mungkin tak menganggap sampah. Bila seketika mereka hanya memberikanku kesempatan selama sebulan untuk pindah dari rumah ini. Kata mereka ini rumah dinas, jadi harus diserahkan kepada yang masih berdinas. Sementara aku hanya istri mantan pejuang. Jadi, siap atau tidak, harus angkat kaki segera."

"Ibu tak mencoba melapor ke pak lurah?"

"Mungkin sama saja hasilnya." Dia menarik napas dengan berat, seolah dadanya diikat rantai kapal. "Padahal semasa suamiku masih hidup, sudah kami sarankan kepada pemerintah agar rumah ini kami beli saja Tapi kata pemerintah, rumah dinas tak boleh dijual. Rumah dinas dibangun untuk kelancaran operasional yang berdinas. Menjualnya sama saja melakukan pekerjaan haram. Lalu, apakah mengusirku tanpa perikemanusiaan dari sini bukan termasuk pekerjaan haram?"

Hatiku mendidih. Tanganku terkepal. Betapa teganya orang-orang itu. Betapa mereka adalah manusia yang melupakan ampas dari tebu, dari manis-legitnya

 "Tinggal saja bersamaku, Bu!"

"Aku tak ingin menyusahkanmu. Aku bisa tinggal bersama anakku. Yang kupertahankan sekarang bukanlah rumah untuk bernaung, melainkan kebun ubi yang hampir  panen itu. Aku telah berjanji kepada anak-anak panti asuhan akan membagi sebagian besar panen ubi itu kepada mereka. Dapat kau bayangkan rasa gembira yang terpancar dari mata-mata suci itu. Tapi bagaimana bila aku ingkar janji karena pemerintah tak sabar menunggu panen ubi tiba?"

"Ya, Ibu bisa mengajukan niat tulus kepada orang-orang itu, tentang rencana membagi hasil panen ubi kepada anak-anak panti asuhan. Pasti mereka mau mendengar, dan menyetujui penangguhan pengusiran Ibu dari rumah ini."

"Sudah kukatakan. Tapi mereka tak mau tahu!" Matanya menyala merah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun