Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suara di Balik Dinding

14 Januari 2019   14:36 Diperbarui: 14 Januari 2019   14:42 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak ada yang aneh dalam ruangan ini. Kecuali kurasakan diri semakin terpuruk. Pada awalnya teman-teman masih sering menjenguk. Kemudian mereka hilang seperti ditelan bumi. Lalu tinggal istri dan anak-anak yang sekali seminggu memberikanku kekuatan batin. Selanjutnya, mereka berlaku sama. Lenyap!

Mungkin aku akan kuat menjalani semua ini, atau malahan gila. Atau lebih parah, mati dirundung duka.

"Hai, ada seseorang di sebelah!"

Itu adalah kali pertama aku mendengar suara di balik dinding ruangan. Persis sebulan aku mendekam di sini. Mulanya, kupikir hanya halusinasi. Tentu keterkuncian dari dunia luar, tanpa hiburan, dan menjalankan hidup seperti detik jam yang monoton, bisa membuatmu berhalusinasi. Kesendirian membuatmu berbicara kepada diri sendiri, kepada cermin, kepada dinding. Maka kututup telinga, dan mencoba tidur.

Sebulan lebih sehari di dalam ruangan ini, kembali kudengar suara itu. Kini tak hanya seorang. Tapi dua. Suara wanita dan pria. Padahal ruangan ini tak bertetangga dengan ruangan lain. Ruangan ini khusus untuk pelaku korupsi, terletak di ujung penjara, disambung koridor yang berliku.

Sipir tak ada. Sipir ada di gerbang depan. Dia datang tiga kali sehari, sekadar mengantarkanku makanan dan minuman. Soal buang air, kulakukan di jamban tanpa sekat. Tidur di atas ubin yang dingin sekali.

"Dia orang baru!"

"Ya, tampaknya tampan!"

"Tapi dia seorang koruptor!"

"Hmm!"

"Kuharap kau jangan main-main dengannya! Kau tahu akibatnya!"

Suara-suara itu tiba-tiba menghilang seiring bunyi kaki yang deras menerabas. Disusul suara detak sol sepatu. Seorang lelaki membuka jeruji besi. Dia tak bersuara. Meletakkan begitu saja nampan besi dengan piring seng berisi nasi dan lauk di atas lantai. Juga secangkir air putih. Ketika keluar ruangan dan menutup jeruji besi tanpa menoleh, kupanggil dia, "Pak, sebentar. Aku ingin bertanya."

"Bertanya apa?" Sinis tatapnya. Seolah aku binatang paling sial di dunia.

"Apakah ada orang, maksudku dua orang di ruang sebelah?" Kurengkuh batang jeruji besi.

"Kau sudah gila! Tak ada ruangan di sini selain ruanganmu."

"Tapi aku seperti mendengar suara-suara di balik dinding."

"Seperti mendengar suara-suara di balik dinding? Itu baru seperti! Bukan benar-benar mendengar suara itu. Kau hanya berhalusinasi!"

"Pak!"

Dia bergegas melalui koridor. Entah berapa kali dia mendengus.

Aku teringat cerita Mas Iruf lima bulan lalu. Sebelum Ronggur, rekan kerja kami, meninggal dunia, dia sempat bercerita kepada Mas Iruf perihal suara-suara tanpa wujud. Akankah aku mengalami kejadian yang sama, mendengar suara-suara sebelum ajal memenggal leherku? Adakah suara-suara itu suara kematian?

Aku menggigil. Nampan di lantai kugeser perlahan.

Penyesalan kemudian melingkar kepala. Penyesalan yang selalu datang terlambat. Mendiang Bapak suatu kali mengingatkan, agar aku bekerja dengan tulus-ikhlas. Bekerja dengan jujur, meskipun seibarat ikan yang hidup di laut. Boleh saja air laut berasa sangat asin, tapi daging ikan tetap harus tawar. Kau tahu arah pembicaraan mendiang Bapak, kan?

Tapi setelah dia meninggal dunia, aku tersadar telah terjerembab dalam lumpur kebodohan. Jabatanku basah, dan uang mengalir seperti air sungai. Telah berulang-ulang anak-istri, bahkan teman-teman dekat,  memintaku untuk sedikit bermain. Aku perlu mobil untuk bergaya, perlu rumah tipe seratus. Anak-anak mestinya sekolah di sekolah elite. Istri harus lebih gaya, banyak teman dan menjadi anggota arisan istri-istri orang kaya.

Ternyata ketika aku mencoba membendung sedikit aliran uang yang melulu masuk ke kas perusahaan, mengalihkannya ke kas keluargaku, terasa ada denyar menggoda. Aku kemudian memiliki banyak teman. Aku merasa mapan. Ya, uang lebih sering membutakan orang.

"Hai, kau!"

Aku tersentak. Urung kusuapkan sejumput sayur ke mulut. Suara di balik dinding entah menegur siapa.

"Anda menegurku?" Aku berhenti makan. Kurengkuh batangan jeruji besi. Ini kali pertama aku berani mengajak suara tanpa wujud itu berbicara.

"Ya, aku menegurmu!"

"Kau siapa? Malaikat pencabut nyawa?"

Dia terkikik. Persis suara kuntilanak. Tapi, lagi-lagi wujudnya kosong. "Malaikat? Aku malaikat? Oh, betapa tingginya tahtaku kau anggap, teman. Lihatlah, aku. Apa matamu buta?"

Kucoba longokkan kepala yang mustahil bisa melintasi sela batangan jeruji besi. Tak sesiapa di sini. Angin berhembus menerpa rambutku. "Kau di mana? Jangan membuatku semakin kesal!  Enyahlah kau halusinasi!" Kubenturkan pelan kening ke batangan jeruji besi.

"Halusinasi? Kau hampir menginjakku, teman!"

Aku terpekik. Di dekat kakiku seekor tikus menggerak-gerakkan kumisnya. Apakah binatang pengerat menjijikkan itu yang berbicara? Ach, aku memang sudah gila! Kulemparkan nampan ke arah tikus yang langsung berlari tunggang-langgang.

Seketika selera makanku musnah. Sipir datang karena mendengar suara nampan yang berisik. Dia membuka jeruji besi. Mencekik leherku. Kemudian membawa pergi nampan berikut makanan dan minuman. Dia menendang perutku sebelum tangannya menjangkau jeruji besi. Aku terjajar ke dinding, dan merasa aku tak sedang berhalusinasi.

Di hari-hari berikutnya, tikus itu semakin sering menemuiku. Terkadang sendiri, dan sesekali berdua-bertiga. Mula-mula aku kesal dan jijik, lalu melemparinya dengan sendal. Tapi lama kelamaan aku bosan sendiri. Apalagi ketika aku bercerita kepada sipir perihal tikus-tikus yang bisa berbicara---dan aku hanya mendapat hadiah bogem mentah---akhirnya aku memilih bungkam.

"Kenapa kau dipenjara?"

Untuk kesekian kalinya aku bungkam ketika tikus sialan itu mengajakku berbicara. Kutebak dia betina, karena suaranya mirip suara perempuan.

"Korupsi?" lanjutnya.

Setelah kupikir-pikir ada baiknya menjadikannya teman berbincang, aku menjawab ketus, "Sudah tahu kok bertanya!"

Dia terkikik. "Kau pasti heran karena bisa memahami pembicaraan para tikus. Maafkan kami telah mengganggumu dengan bincang-bincang kami di balik dinding ini. Di situ memang ada lobang kecil yang menyambung ke selokan di belakang. Lobang tempat kami agar bisa menjarah makanan di dapur penjara."

"Sebentar! Aku hanya ingin bertanya, kenapa aku bisa memahami pembicaraanmu?"

"Aku tak bisa menjawab. Percayalah, Tuhan telah memberimu kelebihan." Dia tertawa.

Dari merasa kesal dan jijik, aku mulai senang berteman dengan para tikus itu. Terutama yang betina. Meskipun awalnya aku mual setiap kali dia membawa barang jarahan dari dapur penjara, di hari-hari berikutnya aku malahan dapat menikmatinya seperti bersantap di restoran. Terkadang roti, potongan ayam, keju, dan sesekali minuman kaleng. Semua itu jatah sipir.

Itulah yang membuatku kemudian tak lagi membutuhkan ransum penjara yang tak bergizi itu. Berkali-kali sipir mendengus jengkel ketika akan mengambil nampan, dia menemukan makanan dan minumanku sama sekali belum disentuh.

"Apa kau ingin cepat mati tanpa makan-minum? Jangan harap! Kami ingin kau bisa menjalani hukuman sesuai vonis hakim. Ayo, makan!" Dia menjejalkan nasi ke mulutku yang berubah menggembung. Dia membogem wajahku hingga nasi berhamburan menimpa sepatunya.

Penyiksaan demi penyiksaan membuatku tak tahan. Hingga di suatu malam saat bertemu dengan para tikus, aku meminta bantuan agar bisa meloloskan diri dari penjara. Para tikus itu bermufakat sejenak. Dan sepertinya aku melihat mereka tersenyum. Dan sepertinya tikus betina itu terlihat cantik dan semakin cantik.

"Kau sudah yakin mau ikut kami?"

"Yakin!"

"Mau hidup di selokan?"

"Mau!"

"Keluarlah!"

Ajaib, aku bisa melenggang melalui sela batangan jeruji beji. Aku bisa masuk ke dalam lobang kecil di dinding yang mengarah ke selokan di belakang. Kami bernyanyi-nyanyi gembira. Semalam suntuk menikmati malam di pinggir selokan. Saat aku meniti di pipa pembuangan yang menyeberang selokan, kulihat bayangan tikus di permukaan air yang butek itu.

"Jangan takut, teman. Itu bayanganmu!"

* * *

Seisi penjara tiba-tiba ribut. Ditemukan sesosok narapidana kasus korupsi, mati di dekat selokan belakang penjara. Para sipir bingung, bagaimana mungkin narapidana itu bisa berada di sana, sementara jeruji besi selnya tak terbuka. Lagi pula untuk sampai ke selokan itu, harus keluar dari pintu gerbang utama.

-sekian-

Ref. Foto : pixabay

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun