Seketika selera makanku musnah. Sipir datang karena mendengar suara nampan yang berisik. Dia membuka jeruji besi. Mencekik leherku. Kemudian membawa pergi nampan berikut makanan dan minuman. Dia menendang perutku sebelum tangannya menjangkau jeruji besi. Aku terjajar ke dinding, dan merasa aku tak sedang berhalusinasi.
Di hari-hari berikutnya, tikus itu semakin sering menemuiku. Terkadang sendiri, dan sesekali berdua-bertiga. Mula-mula aku kesal dan jijik, lalu melemparinya dengan sendal. Tapi lama kelamaan aku bosan sendiri. Apalagi ketika aku bercerita kepada sipir perihal tikus-tikus yang bisa berbicara---dan aku hanya mendapat hadiah bogem mentah---akhirnya aku memilih bungkam.
"Kenapa kau dipenjara?"
Untuk kesekian kalinya aku bungkam ketika tikus sialan itu mengajakku berbicara. Kutebak dia betina, karena suaranya mirip suara perempuan.
"Korupsi?" lanjutnya.
Setelah kupikir-pikir ada baiknya menjadikannya teman berbincang, aku menjawab ketus, "Sudah tahu kok bertanya!"
Dia terkikik. "Kau pasti heran karena bisa memahami pembicaraan para tikus. Maafkan kami telah mengganggumu dengan bincang-bincang kami di balik dinding ini. Di situ memang ada lobang kecil yang menyambung ke selokan di belakang. Lobang tempat kami agar bisa menjarah makanan di dapur penjara."
"Sebentar! Aku hanya ingin bertanya, kenapa aku bisa memahami pembicaraanmu?"
"Aku tak bisa menjawab. Percayalah, Tuhan telah memberimu kelebihan." Dia tertawa.
Dari merasa kesal dan jijik, aku mulai senang berteman dengan para tikus itu. Terutama yang betina. Meskipun awalnya aku mual setiap kali dia membawa barang jarahan dari dapur penjara, di hari-hari berikutnya aku malahan dapat menikmatinya seperti bersantap di restoran. Terkadang roti, potongan ayam, keju, dan sesekali minuman kaleng. Semua itu jatah sipir.
Itulah yang membuatku kemudian tak lagi membutuhkan ransum penjara yang tak bergizi itu. Berkali-kali sipir mendengus jengkel ketika akan mengambil nampan, dia menemukan makanan dan minumanku sama sekali belum disentuh.