"Bagaimana dengan orang botak? Kalian tak sanggup menguasainya, kan?"
"Orang botak susah dikuasai. Mereka sering mementingkan ilmu. Itulah mengapa ilmuwan sering tak berambut. Jadi, kami biarkan saja mereka."
"Bagaimana kalau mereka sengaja membotaki kepalanya?" candaku.
"Membotaki kepalanya hanya sesekali. Tapi itu jarang. Mana ada penguasa yang suka botak. Kalau pun ada, penguasa itu tak pandai berpenampilan. Tak bisa menjadi setan di belakang wajah tanpa dosa. Dan merekalah yang akhirnya jatuh meralat."
"Berarti kalian tak bisa menguasai setiap kepala manusia."
"Benar! Terutama bagi orang yang suka berwudhuk atau membasahi kepalanya. Kami sering tergelincir, dan hanyut."
Sekali lagi kepalaku sakit bukan main. Tubuhku tersedot sesuatu yang sangat kuat. Melayang, berputar, terjerembab di tempat asal. Fajar sudah menyingsing. Aku berada di dalam mobil, tertidur di kemudi. Suara ketokan di kaca membangunku. Dia lelaki berseragam dan bukan tukang parkir. Aku turun sambil melihat ban mobilku telah dibanduli pengunci berwarna kuning. Setelah mengumpat dalam hati, beberapa ratus ribu melayang kepada lelaki itu. Â Mobil kupacu kencang menembus pagi. Kulupakan yang tak boleh disebut namanya itu.
Pelan-pelan aku bisa menemukan arah menuju rumah. Antara ragu dan ingin pulang, membuat laju mobil sekitaran dua puluh kilomtere per jam. Beberapa kali kendaraan di belakangku menyerapah dengan bunyi klakson atau dengan suara pengemudinya. Lalu, aku yang di jalur cepat, pindah ke jalur sedang, pindah lagi ke jalur pelan. Begitu ada yang menyerapah lagi, kubalas serapah. Apakah aku harus pindah ke parit pinggir jalan? Orang yang menerima serapahku terdiam. Memacu motornya dengan cepat.
Tiba di depan rumah, aku ibarat gadis muda yang pulang kemalaman. Kalau bisa, mobil kubuat menjinjit agar istriku tak mendengar kedatanganku. Tapi perempuan segar yang sedang menjemur kain itu, seolah menunjukkan bahwa semua berada dalam kondisi baik-baik saja. Dia terlihat segar dengan rambut basah. Sebentar aku bertanya dalam hati, apakah masa menstruasinya baru berakhir? Aku ingat, senja sebelum pertengkaran hebat itu, masih sempat kami guling-gulingan di kasur. Atau, dia memasukkan lelaki lain ke rumah? Emosiku kembali meledak. Tapi kutenangkan kembali. Jangan-jangan emosi istriku yang akan membungkam dan melahapku.
Dia langsung menyongsong kedatanganku. "Maaf ya, Mas. Semalam itu aku telah berkata kasar kepadamu." Wangi sekali dia. Mungkin rambut basah itu sebagai pertanda dia siap menyambutku. Aku berprasangka baik saja. Lebih berprasangka baik lagi, saat melihat hidangan di meja makan, melulu sesuai seleraku. Kami makan bersama. Dengan senyum dikulum. Walaupun masih terlihat sama-sama malu.
Berakhir di kasur, dia membelai rambutku. Pertengkaran awal kami tadi malam masalah meminjami adik iparku uang untuk usaha barunya, kembali kami bicarakan pelan-pelan. Beralih ke pertengkaran inti tentang rencana mengadopsi anak setelah delapan tahun perkawinan, kami belum mempunyai anak. Dan sekonyong-konyong, istriku melompat dari kasur. Matanya menyala.