Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Yang Tak Boleh Disebut Namanya

10 Januari 2019   11:42 Diperbarui: 10 Januari 2019   13:11 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Yang tak boleh disebut namanya? Sehebat apa dia? Apa dia melebihi penguasa jagat? Penguasa jagat saja tak pernah melarang penduduk bumi menyebutkan nama-Nya. Bahkan berpahala bila sering menyebut-nyebut-Nya.  Maka, kupikir gila sekali orang yang melarang siapa saja menyebut namanya. Karena penasaran, kupaksa lelaki itu menyebut siapa orang itu. Lelaki itu pasi. Bungkam. Kemudian seperti kekurangan napas dia mengatakan, siapa saja yang berani menyebutkan namanya, akan mendapat bencana. Termasuk aku.

Kupaksa terus, dia ogah. Kuingat bahwa kelemahan manusia sering pada harta. Segenggam uang keluar dari dompetku. Dia takut. Takut berubah senyum ngeri. Tapi pelan-pelan dia melangkah, mengajakku ke pinggir jalan. Dia mengambil ranting, lalu menuliskan beberapa huruf di tanah sambil menutup mataya sangat rapat. Kueja dalam hati huruf-huruf itu. Dia pasi kembali. Lebih pasi.

"Kau menyebut namanya?" Aku menggeleng. "Dalam hati?" Aku ragu-ragu mengangguk. Dia lari tunggang-langgang. Tahu goreng yang berada di dalam bakul, terpelanting, mengotori jalan. Sementara sesuatu terjadi padaku. Tenaga yang sangat kuat menghisapku dari arah jalan tanah itu. Mula-mula kucoba bertahan dengan kedua kaki. 

Tak bisa. Bertahan sambil memegang jendela mobil. Tetap tak bisa. Hisapan itu semakin kuat, seolah pusaran air. Lalu, aku melesat, berpusing dan terjerembab di tempat yang lebih asing dari tadi. Tempat sepi yang hanya dikelilingi pohon meranggas. Sejauh mata memandang, selain pohon meranggas, hanya ada pasir.

"Berani kau menyebut namaku?" Sebuah suara halus mengusikku. Terasa sangat dekat. Tak ada orang di sekelilingku. Bahkan kesiur angin pun tak. "Tak usah celingak-celinguk. Aku dekat denganmu. Sangat dekat." Bibirku bergetar. Mungkin dia penguasa jagat. Mungkin juga tangan maut sudah mengantarku ke mari. Alam barzah. Kulihat ke langit. Penguasa jagat berada di atas langit, begitu yang kupelajari di sekolah. Tapi kubantah bahwa dia penguasa jagat. Namanya tak cocok. Terlalu sampah.

"Kau siapa? Kau di mana?" Tantangku.

Kepalaku mendadak pusing. "Takluklah padaku. Jangan banyak menantang. Kau berada dalam kekuasaanku. Aku berada di atas kepalamu, di selang-seling rambut hitam dan ubanmu. Aku kutu." Penjelasannya membuatku tertawa panjang. Betapa sombongnya dia. Hanya seekor kutu berlagak raja. Dipencet sekali, tesss...pecah. Mati. Kini kepalaku lebih pusing. Mataku berkunang. Aku lebih baik diam. Takluk.

Dia bercerita telah menguasai seluruh dunia. Di setiap kepala para penguasa, bahkan pejabat kecil semisal ketua rt, kutu ditebar. Itulah mengapa saat menjalankan tugasnya, mereka suka korup. Mula-mula kutu hanya menghisap darah di bagian kepala. Setelah kenyang mereka menguasai seluruh jaringan otak. Merekalah yang mengatur tindak-tanduk dan kebijakan.

Kutu memang sengaja berumah di kepala. Berada di posisi tinggi selalu di samakan dengan penguasa. Pada awal diciptakan, kutu tak memilih misalnya di di kaki. Memang ada kutu yang hidup di kaki. Namanya kutu air. Mereka kaum rendahan kutu. Bukan sekelas kutu rambut yang mentereng. Ada pula kutu buku yang melahap setiap buku. Hanya saja otaknya tetap didengkul, tak pintar-pintar.

"Hanya kamilah yang paling hebat. Yang tak boleh disebut namanya." Dia tertawa sombong. Ingin kutepuk, tapi di posisi mana dia di kepalaku, aku tak tahu. Salah-salah tepuk, kepalaku yang sakit. Dia masih sehat-sehat.

Kutu rambut itu kembali bercerita, setiap penguasa memiliki rambut-rambut yang lebat untuk melindungi kutu. Aku mendengarnya sambil mendengus. Kukatakan banyak juga yang berambut jarang karena sudah tua. Namun  dia bersilat lidah. Bila berambut jarang, penguasa sengaja menyemir rambutnya untuk menyamarkan kutu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun