Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Yang Tak Boleh Disebut Namanya

10 Januari 2019   11:42 Diperbarui: 10 Januari 2019   13:11 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kupret.

Pagi ini cukup cerah. Duduk dan dengarlah ceritaku baik-baik. Jangan ke mana-mana. Bisa bahaya. Redaktur saja, pada awalnya berpaling. Tapi sekali melihatku, dia tiba-tiba bergetar. Dia melahapku sampai habis. Kemudian, sepakat dengan teman-temannya di rapat redaksi, seperti robot mereka mempersilakanku bercerita kepada khalayak ramai, dengan memfasilitasi ongkos transportasi dan biaya akomodasi. Dan yang pertama kutemui adalah kau. Ya, kau! Kau harus melahapku. Kau harus mendengar cerita ini sampai tuntas. Anggap saja dirimu terhipnotis oleh lelaki lusuh pembawa buku istambul.

Begini. Kejadiannya bermula malam itu, saat aku sama sekali tak ingat tanggal berapa, hari apa, jam berapa. Isi kepalaku benar-benar buntu. Mandul. Semua tersebab pertengkaran hebat antara aku dan istriku. Emosi yang memuncak dan mulut tak berhenti nyerocos, membuat cara berpikir rusak. Sebelum lebih parah, apalagi harus keluar kata pamungkas yang memisahkan suami dengan istri, memisahkan istri dengan suami, maka kuputuskan memacu mobil menembus pekatnya malam.

Sudah ghalib kalau pikiran buntu berkecamuk, hati panas, meledak-ledak penuh amarah, kau pasti linglung. Entah ke mana kau akan pacu kendaraan. Mobilmu seperti memiliki naluri memutari kota, hingga kau berhenti pada suatu tempat entah, untuk tujuan entah. Dan itu benar-benar kualami. Mengerem mobil, lalu keluar dari dari dalam seperti orang mabuk. Aku tak hapal jalan yang mengular di depan, kemudian mati, alias jalan aspal habis berganti jalan tanah yang berpagar rumah-rumah kayu menjulang, mencakar rembulan.

Sejak lahir aku sudah di kota ini. Itu berarti hampir empat puluh tiga tahun. Tapi melihat jalan tanah di seberang jalan aspal, melihat rumah-rumah kayu itu, aku seperti menjadi anak baru lahir. Ke mana saja aku selama ini hingga tak pernah melihat tempat itu?

Sepi mencekam! Ingin pulang, mau pulang ke mana? Ke rumah, sama saja menyiram api dengan bensin. Bless... Tinggal di sini, di tempat mana aku tidur? Perempuan mana yang bisa diajak berbagi cerita, dan untuk tidur bersama, bila ada kesepakatan selanjutnya?

Tiba-tiba saja aku didatangi oleh lelaki penjual tahu goreng. Lelaki yang aneh, berjualan di tempat tanpa pembeli.

"Maaf, Pak. Itu kota apa?" tanyaku. Lelaki itu berhenti. Melihat arah telunjukku, langsung saja bahunya terangkat. Dia ketakutan.

"Itu bukan kota, tapi kerajaan." Dia buru-buru melangkah. Tapi aku lebih cekatan mencekal lengannya.

"Kerajaaan apa? Hantu? Jin? Wewegombel? Begu ganjang?"

"Itu kerajaan milik yang tak boleh disebut namanya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun