* * *
Sabtu berikutnya, aku tak pulang sendiri. Aku memberitahu seluruh saudara-saudaraku bahwa Mak sakit. Kakinya keseleo. Jadi, kami pulang bersama-sama. Kami berniat memaksa Mak tinggal di kota. Seminggu di rumahku, seminggu di rumah Ramadhan, lalu ke rumah  Ucok, Maddin dan lain-lain secara bergilir. Kami semua tak mau menjadi pendosa. Masa' perempuan tua seperti dia dibiarkan sendirian di dusun. Padahal dialah yang melahirkan dan membesarkan kami. Dia yang menggiring kami sehingga sukses. Ya, dengan lempung dan tembikar-tembikarnya.
Tapi setiba di rumah Mak, kami semua terpaksa menahan tangis. Di halaman depan terpancang sebuah tiang berbendera hijau. Itu artinya di dalam rumah ada yang meninggal. Sementara penduduk dusun ramai berkerumun.
Begitu kami masuk ke halaman rumah, Igor, tetangga jauh Mak, Â langsung menyongsong. Dia menubruk kami seorang per seorang. Dia menangis sesunggukan. Kami balas pula dengan sesunggukan sambil mengucapkan kata "Mak" dengan lirih.
Ah, aku merasa sangat bersalah. Kenapa seminggu lalu itu aku tak langsung memboyong Mak ke kota. Pasti keselo di kaki kanannya parah. Sehingga badannya panas lagi. Dia pasti tak dapat makan karena tak ada yang memasakkanya. Oh, Tuhan, ampunilah hamba-Mu.
"Mak disemayamkan di ruang mana?" Aku berusaha menerobos kerumunan. Igor menatapku aneh. Dia ingin mengucapkan sesuatu, tapi tak sempat. Seseorang yang duduk berselonjor di teras depan rumah, akhirnya menjawab semuanya dan membuat kami lega.
Ternyata Mak masih sehat-sehat dan berselonjor sambil mengobrol dengan orang di sebelahnya. Kami, anak-anaknya langsung memeluknya dengan bahagia. Dari cerita Mak barulah kami tahu, bahwa yang meninggal adalah anak sulung Igor. Rumah Igor tertimbun tanah longsor, dan anak sulungnya terjebak di dalam, lalu meninggal. Sebagai tempat darurat persemayaman, dipilihlah rumah Mak. Karena rumah Mak tak berapa jauh dari sungai yang berseberangan dengan pemakaman dusun.
Setelah pemakaman selesai, barulah kami mengutarakan niat mengajak Mak ke kota. Dan jawaban darinya sudah dapat ditebak. Dia menolak. Dia tetap ingin hidup dan mati di dusun.
"Mak! Mak kan tak bisa lagi mengambil tanah lempung di bukit. Kaki Mak keseleo," kata Ucok mencoba merayu.
"Aku memang tak bisa mengambil tanah lempung di bukit. Tapi sekarang Igor dan keluarganya ada. Mereka tak memiliki rumah sekarang. Mereka sementara tinggal di sini. Jadi, merekalah yang membantuku mengambil tanah lempung di bukit dan menjualkan tembikar-tembikar ke pasar. Sementara aku masih bisa membuat tembikar-tembikar dengan tangan yang terampil ini." Mak tertawa renyah.
Kami pun tak dapat menolak. Hanya ada pilihan terakhir. Aku berhenti menjadi kolumnis. Kemudian tinggal bersama Mak di dusun. Ya, tak apalah. Kalau dulu aku menjabat sebagai kolumnis, sekarang berubah menjadi lempungnis, tembikarnis. Hahaha. Mak amat senang sehingga memelukku erat-erat. Katanya, "Salah seorang anakku ternyata ada yang kembali."