Bukan reporter, kameramen atau bagian percetakan. Melainkan menjadi kolumnis, yang sesekali tulisannya bernuansa naturalis-fiktif. Dan aku amat sangat senang menjadikan Mak Rokiah sebagai tokoh. Karena aku begitu banyak belajar darinya. Juga, memamah bumi dari suapannya yang lapang.
Meskipun Mak kurang senang dengan pekerjaanku, tapi setidak-tidaknya dia menganggapku kacang yang tak lupa kulit. Di antara saudara-saudaraku, akulah yang tetap dekat Mak. Aku yang selalu membawakannya beruncang tembakau untuk dikunyah-kunyahnya ketika menyadap lempung atau membuat tembikar. Aku pula yang senang memijit kakinya yang kelelahan seminggu sekali.
Ya, walaupun jarak dari kota ke dusun Mak lumayan jauh, sekitar tiga jam perjalanan mempergunakan mobil, aku masih sempatkan mengunjunginya sekali seminggu. Sabtu sore aku tiba. Minggu sore baru pulang. Aku tak perduli bila akhirnya Marudut, sang pimpinan redaksi-ku, selalu menegur. Sebab bagi orang yang bekerja di penerbitan (surat kabar), tak ada waktu libur. Bila dibutuhkan, harus siap memburu kata-kata. Termasuk aku yang bekerja hanya sebagai kolumnis. Tapi tentu aku tak dapat menyalahkannya. Aku mendapat gaji bulanan di sana, sebagai pengikat agar aku tak mengisi kolom-kolom di penerbitan lain.
"Sudah tiba kau, Lian?" teriak Mak dari belakang rumah. Mak bertelinga awas. Bunyi kecil di dalam rumah saja, sanggup dia dengar.
Setelah memasukkan traveling bag ke kolong tempat tidur, barulah aku menjawab, "Ya, Mak. Aku telah tiba." Aku berdiri di ambang pintu belakang. Tapi aneh, Mak tak sedang sibuk dengan lempung dan tembikar-tembikar. Dia tengah duduk di atas bale-bale sambil mengurut-urut kaki kanannya.
"Jam berapa kau dari kota?" Dia menerima seuncang tembakau pemberianku.
Bukannya menjawab pertanyaannya, aku malahan bertanya, "Mak tak membuat tembikar, ya? Lalu kaki ini kenapa merah dan bengkak? Mak sakit? Mak terjatuh?"
"Aku absen membuat tembikar, Lian! Tadi pagi aku mengambil lempung di bukit. Tapi karena jalanan becek, setelah hujan deras yang turun tadi malam, aku terpeleset. Kakiku tertekuk dan keseleo," ucapnya. Ketakutan seketika menyergap mataku. Aku teringat bagaimana dulu Bapak terpeleset di bukit-bukit itu.Â
Aku saat itu menemaninya. Jalanan becek dan licin. Bapak berjalan di depan, memegang tongkat kayu. Dia kemudian naik lebih tinggi ke pucuk bukit. Disuruhnya aku menunggu di lembah. Lalu, tiba-tiba sekali Bapak menjerit. Dia terpeleset. Tubuhnya limbung dan meluncur deras ke bawah.Â
Dia menghilang di timbunan semak. Ketika aku berusaha menolong, Bapak menyuruhku pulang ke dusun. Dia tak bisa berjalan. Dia mesti ditandu. Tapi ketika aku kembali bersama Mak, saudara-saudaraku dan beberapa tetangga, Bapak telah pergi. Bukan pergi dari tempatnya jatuh itu, melainkan telah meninggal dunia.
"Hai, kenapa melamun!" Mak mengejutkanku.