Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rokiah

8 Januari 2019   10:34 Diperbarui: 8 Januari 2019   11:11 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Aku teringat Bapak. Untung Mak tak jatuh seperti dia." Aku duduk di sebelahnya. Mencoba memegang kaki kanannya yang terasa agak panas. "Mak sudah berobat?"

"Tadi pagi aku langsung pulang. Jadi, tak sempat mengambil lempung. Aku telah mendatangi Ompu Gontar. Dia memeriksa dan mengurut kakiku. Katanya keseloenya cukup parah. Dia tak dapat membenarkannya, sebab tulangku telah rapuh. Kalau dipaksa-paksa, bisa patah. Jadi, biarlah memakai minyak urut saja. Mudah-mudahan bengkaknya tak terlalu." Dia menatapku. "Sudah makan?" Aku mengangguk. Karena menjelang maghrib, aku memapah Mak masuk ke dalam rumah.

Malam harinya, tubuh Mak panas. Mak mengerang. Aku kelabakan. Mau memanggil petugas medis, pastilah tak mungkin. Mana ada di dusun orang seperti itu. Paling hanya ada dukun. Kalaupun ada petugas medis, aku harus ke perbatasan dusun dan kota kecamatan. Jaraknya jauh. Dengan berjalan kaki, aku baru bisa tiba di sana satu jam kemudian. Sebab kalau menunggu mobil angkutan, tentu malam-malam begini tak ada lagi.

Akhirnya aku meminta air rajahan kepada Pak De, dukun yang kerap merangkap imam di langgar. Beruntung panas badan Mak mereda setelah meminumnya. Jadi, aku bisa tidur lelap.

Besok paginya kuputuskan mengajak Mak ke kota. Kalau sakit begitu, siapa yang akan menengok-nengoknya? Tetangga sebelah rumah? Ah, sepertinya mereka mempunyai kesibukan masing-masing. Mereka mungkin hanya bisa menjenguk, tetapi tak mampu  memberi solusi.

"Mak ke kota saja bersamaku. Di sana tulang Mak bisa diperiksa dokter," ucapku. Wajahnya langsung tegang. Dia paling anti diajak ke kota. Apalagi harus tinggal di sana. Menurutnya lebih baik tinggal dan mencari nafkah di dusun. Bukan seperti kami dan sebagian besar orang dusun, yang tega berjibaku mendatangi kota hanya untuk menjadi sampah. 

Dusun itu, meski gersang dan tak ramah, tapi kami semua terlahir di sana. Dia juga dapat menyusukan hidup kepada kami, kalau kami semua mau. Buktinya Mak dapat hidup dengan mengandalkan tanah lempung dan tembikar-tembikar. Lagipula, dusun bukan hanya memiliki lempung, dia memiliki batu-batu besar, pasir-pasir, tanah kapur. Semua bisa dijadikan pencarian. Menjadi duit!

"Aku tak mau. Lebih baik hidup di sini. Mati di sini!"

"Tapi Mak tak berkawan. Apalagi sekarang sedang sakit. Kalau aku tak membawa Mak, maka aku telah berdosa membiarkan Mak menderita. Ayolah!"

"Tak!"

Mak keras seperti batu. Dia selalu menuruti kemauannya sendiri. Akhirnya meskipun sangat was-was, sore harinya aku terpaksa meninggal Mak. Aku harus kembali ke kota melanjutkan perjuangan hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun