“Ya!” Ekor mataku melihat gerak-geriknya. Dia terlihat sibuk mencuci piring. Kemudian menyiapkan sarapan. Menyapu seisi rumah. Membangunkan anak-anak. Mengantarkan si bungsu ke sekolah.
Ketika istriku pulang mengantar si bungsu ke sekolah, aku sudah rapi dan siap berangkat ke luar rumah. Dia datang dengan sekeranjang belanjaan. Rupanya dia menyempatkan berbelanja dulu sebelum pulang ke rumah.
Keringat membanjiri keningnya. Wajahnya memerah terpanggang matahari pagi. Dia sumringah. Amboi, betapa dia sangat lelah menjalani hidup sehari-hari. Apalagi sebentar lagi dia dituntut harus buru-buru berangkat mengajar.
“Mau ke mana, Pak?”
“Mau mencari pekerjaan!” Aku tersenyum. Senyum yang paling lepas setelah sekian lama menjadi pengangguran.
“Syukurlah!” Hanya itu. Tapi ucapannya seolah guyuran embun yang membuatku semangat menyambut hari.
Kuingat tahi itu, kuingat bangkai itu. Aku membuangnya jauh-jauh seperti membuang rasa malu yang menggerogoti dadaku. Tak usah dipikirkanlah! Kerja apa saja, jadilah, asal halal!
---sekian--
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H