Di pagi lain aku menemukan bangkai di kolong kursi tamu. Entah bangkai apa, karena bentuknya hanya seonggok daging yang membusuk. Aku mengambil sapu lidi dan mencoba mengaitnya keluar. Hanya saja baunya sangat menyengat. Berkali-kali ujung lidi hampir menyentuh bangkai itu. Berkali-kali pula aku kalah dan buru-buru menutup hidung. Aku berhoek-hoek seperti perempuan hamil. Aku membuang ludah ke luar jendela sambil mengumpat. Apakah istriku tak tahu ada bangkai di kolong kursi? Apakah dia cuek bebek saja pergi mengajar tanpa memperhatikan ada tamu busuk di dalam rumah? Nasib malang seorang suami pengangguran.
“Bangkai apa itu?” tanyaku seolah bertanya kepada diri sendiri.
Istriku yang baru pulang mengajar, membuka jilbab dan merebahkan sebentar tubuhnya di kasur. Keringat terbit di keningnya.
“Bangkai apa? Di mana? Seisi rumah sudah kubersihkan sejak pagi. Mana mungkin ada bangkai. Apa bapak tak salah lihat? Apa bapak hanya mengada-ngada? Makanya….”
“Lihat saja di bawah kursi tamu!” selaku cepat. Aku tak ingin mendengar lanjutan kata-katanya yang menyakitkan, seperti ngedem terus di rumah.
Istriku menyuruk ke bawah kursi tamu. Dia kemudian menceracau, mengatakan mataku katro. Tak ada bangkai di situ. Ternyata setelah aku mencoba membuktikan perkataan istriku, bangkai itu memang tak ada. Apakah aku sudah gila? Apakah ini karena aku terlalu lama menganggur dan memilih ngedem di rumah? Mungkin nasib yang kualami, dialami pula oleh rekan sesama pengangguran. Kami sering berhalunisasi dan menjadi bahan omelan istri.
Tak ingin larut menjadi pecundang, aku pergi ke rumah Is’ad, teman sesama pengajian. Kebetulan dia ada di rumah dan sedang menyirami bunga. Begitu melihatku, dia langsung menghentikan pekerjaannya.
Kami duduk di teras rumah. Hanya dengan meneriakkan pelan nama istrinya, tak lebih dua menit, istrinya datang menghidangkan dua cangkir teh dan setoples kue kering di meja. Betapa aku terkesima melihat istrinya. Bukan sebab istrinya berparas cantik saja, melainkan aku kagum sifat hormatnya kepada suami. Cara bicaranya itu, duh meluluhkan hati. Saat tubuhnya hilang di balik pintu, aku menggamit lengan Is’ad.
“Istrimu masih seperti yang dulu,” kataku.
Is’ad tersenyum. Dia mempersilahkanku mencicipi hidangan di meja. “Maksudmu masih cantik?”
“Ya, salah satunya itu. Tapi sifat hormatnya kepada suami itu, lho! Aku kagum. Beda benar dengan istriku.”