Maka seperti muntahan peluru, aku menceritakan kondisi yang kualami beberapa bulan belakangan ini. Tentang tahi yang menempel di dinding, tentang bangkai di kolong kursi. Juga tentang tingkah-laku istriku yang memperlakukan suami sebagai bahan omelan. Aku merasa sakit hati. Aku merasa dia telah menjadi istri yang durhaka. Sekelebat aku pernah berniat agar kami berpisah saja.
“Apa yang kau alami, pernah juga kualami saat menikah dengan Indah, istriku. Kala itu aku masih menganggur, dan dengan terpaksa kami tinggal di rumah orangtuanya. Sering aku merasa mendapat perlakuan tak menyenangkan, baik datangnya dari Indah, atau dari bapak-ibu mertua. Bahkan saking kesalnya, aku juga pernah berniat agar kami bercerai saja. Bayangkan, waktu itu usia perkawinan kami baru setahun lebih.
Tapi setelah aku berjuang mencari penghidupan, serta menganggap semua perlakuan mereka sebagai cambuk agar membuatku maju, ternyata perlakuan mereka wajar-wajar saja. Tak ada yang berlebihan. Hanya aku yang menanggapinya lain.” Dia menepuk-nepuk pundakku. Aku tersenyum kecut. Bagaimanapun, dia sanggup berbicara begitu, karena hidupnya sudah mapan. Coba kalau dia di posisiku, pasti pusing tujuh keliling.
“Memangnya pengangguran harus berhalusinasi terus? Harus tabah mendapat omelan istri dan mertua? Begitu ya, Is’ad?”
“Tidak juga. Sekali lagi itu hanya perasaan seorang pengangguran saja.” Dia menyeruput teh sampai tak bersisa. “Lagi pula, sebetulnya sebagai suami, kita-kitalah yang wajib berusaha. Bukan menjadikan istri menjadi tulang punggung keluarga. Dia sudah capek mengurusi anak-anak. Pusing merapikan segala perabot rumah tangga. Sibuk mencari biaya, rencana masak ini-itu agar tak membuat bosan penikmatnya; anak-anak dan suaminya. Apakah kau tak memikirkan itu, Alim?”
Aku tengadah. “Aku memikirkannya. Tapi lowongan pekerjaan sekarang ini susah.”
“Lho? Begitu banyak pekerjaan yang bisa dilakukan. Kenapa kau tak memilih salah satu dan mengerjakannya?” Is’ad seperti menodongku. “Misalnya berdagang. Menjadi tukang bangunan. Menjadi kurir atau apalah.”
“Tapi aku sarjana dan pernah mencicipi kursi manajer. Aku malu!”
“Malu? Apa kau bisa makan malu, Alim? Selama pekerjaan yang kita lakukan halal, menjadi tukang sampah saja lebih bermartabat daripada pengangguran.”
Terngiang terus di telinga ini ucapan Is’ad. Maka di suatu shubuh aku lebih dulu bangun dari istriku. Usai shalat aku menyeruput teh sambil membaca koran kemarin.
“Tumben sudah bangun duluan.” Istriku tersenyum.