Orang-orang kota malam menghambur dari rumah-rumah, hotel-hotel, cafe-cafe, restoran-restoran. Mereka semua kuyu dan pucat. Tak ada semangat. Mereka pencuri bodoh yang hanya terpikir bersantai, tanpa pasukan perang sama sekali. Kecuali seorang master pencuri yang diangkat sebagai walikota, akhirnya turun dari singgasana sebagai tameng.
Walikota siang dan walikota malam berunding. Tercapai kesepakatan agar walikota malam menyerahkan dinginnya malam kepada walikota siang. Bila tidak, seluruh kota malam akan diratakan dengan tanah.
Kota siang kemudian mendapat kebahagian karena bisa membagi musim dingin dan panas silih berganti.
Tak puas dengan dingin, kota siang menagih embun malam. Walikota malam menolak. Tapi melihat uang yang ditawarkan walikota siang, dia kemudian memberikan embun malam.
Di hari lain kota siang membeli bintang dari kota malam. Membeli bulan. Orang kota malam semakin merasuk dalam kehidupan gelap mereka. Uang menghambur. Tak ada lagi tempat membuangnya. Mereka tak tahu telah kehilangan dingin malam, embun, bintang, bulan. Jalanan mereka selalu sepi. Mereka tak pernah mengintip langit.
Orang kota siang kesenangan menerima dingin malam, embun, bintang, bulan. Dingin malam dan embun, konon bisa mereka rasakan. Tapi bagaimana menggantung bintang dan bulan di langit? Bulan jelas akan gelap, karena selama ini dia meminjam cahaya matahari. Bintang, bagaimana dia menyaingi cahaya sang matahari?
“Kita harus meminta gelap! Beli berapapun harganya.”
“Kalau pemerintah tak ada uang, kita sumbangan. Percuma menikmati dingin malam dan embun tanpa bulan dan bintang. Kita harus merasakan panas dan dingin. Melihat bintang, bulan dan tentu saja matahari. Semua harus sepasang. Karena Tuhan telah berbaik hati menciptakan semua di muka bumi ini berpasangan.”
“Beli gelap!”
“Beli, beli, beli!”
Walikota malam sebenarnya tak ingin memberikan harta satu-satunya berupa gelap kepada orang kota siang. Namun sekali lagi uang memang menyilaukan. Dia menyerahkan dengan suka cita gelap kepada orang kota siang.