Orang-orang kemudian membuat siang buatan di dalam gedung-gedung yang tertutup rapat dengan pencahayaan ribuan watt. Tapi apa yang didapat, tubuh terlalu terbakar, kering. Siang tak bisa diciptakan. Dia muncul secara alami, pun pergi sekehendak hati.
Orang-orang kemudian mengerumun balai kota. Mendemo pemerintah agar mengembalikan malam curian, dan meminta sedikit siang kepada korban pencurian. Telah cukup banyak laku maksiat dilakukan karena malam yang tak kunjung lalu. Orang-orang butuh kehangatan matahari.
***
Di tempat itu seorang tua duduk menekur. Telah penuh lemari oleh stok kopi yang dia beli setiap kali menerima uang pensiun. Tapi kapan dia bisa minum kopi panas bila panas matahari terus menerus memanggang atap rumahnya? Apa enaknya menyeruput kopi panas, bila tak ada malam berembun turun di beranda? Dia benci kehilangan malam. Dia juga cemas melihat bertoples kopi hampir menguasai rumahnya.
“Coba sekali-sekali minum kopi dingin. Sekarang sedang musim yang begituan.” Cucunya memberi saran.
“Kau tak tahu gigiku tinggal dua? Ngilu rasanya bila harus minum yang dingin-dingin. Bengekku juga bisa kambuh!”
Di tempat lain seorang kanak-kanak duduk menekur. Telah penuh lemari oleh stok es krim yang dibawa kakeknya setiap kali si kakek selesai mengambil uang pensiun. Tapi kapan dia bisa melahap es krim bila dinginnya malam setiap hari memeluk kamarnya? Apa enaknya melahap es krim, bila tak ada matahari turun di ambang jendela? Dia benci kehilangan siang. Dia juga cemas karena berkotak es krim hampir menguasai kamarnya.
***
Orang-orang di kota siang---begitulah kira-kira kita menyebutnya---semakin tak tahan dengan siang berkepanjangan. Banyak yang frustasi, gila atau bunuh diri. Berbagai klinik terapi kejiwaan kemudian muncul seperti jamur tumbuh di musim penghujan. Pemerintah kelabakan dengan kurva kematian warga di kotanya dari waktu ke waktu selalu merangkak naik. Pemerintah juga ikut stress menghadapi siang yang terlalu akrab itu. Tentu tak ada pilihan lain kecuali melaksankan rapat dadakan. Mengumpulkan pasukan perang demi merebut malam dari si pencuri.
Maka berduyunlah mobil perang menuju kota malam---begitulah kira-kira kita menyebutnya. Ribuan pasukan menyemut jalan. Puluhan pesawat tempur dan helikopter menggelapkan kota.
Berbelas hari terlampaui, akhirnya mereka menemukan kota malam yang seperti tenggelam dalam tidur yang panjang. Senjata-senjata diarahkan dan siap diletuskan. Peringatan pertama disuarakan.