Sekelebat aku membayangkan kasur kusut dan selimut menggelimpang. Bau khas lelaki, juga rambut yang kasar.
“Nah, benar, kan?” Mataku menyelidik.
“Tapi ini bukan seperti lelaki yang sekarang bersarang di perkiraan Mas. Dia orang baik. Kenalan---ah... sahabat Mas. Tuan Marsis!”
Aku ingin tertawa terbahak-bahak. Ingatanku menjalar cepat ke wajah orang itu. Sialan! Tuan Marsis tahu kalau untuk merayuku meninggalkan dia bukanlah semudah membalikkan telapak tangan. Dia cerdas memanfaatkan orang-orang terdekatku.
Lambat, tapi pasti. Istriku mulai meminta macam-macam kepada Tuan Marsis. Juga dua anakku.
“Minta emas, dong!”
“Mobil, Pa!”
“Motor balap keluaran terbaru!”
“Baju di butik yang mahal itu!”
“Jalan-jalan ke Amrik!”
Mati aku! Untungnya semua itu mulus diluluskan Tuan Marsis. Bahkan suatu ketika aku tergoda ingin memiliki mobil sedan edisi terbaru, besoknya mobil itu sudah berada di depan rumah.