Dia meringis, lalu mengangguk. Sudah berulangkali keuangan kami menipis, hingga berulangkali pula aku menahan malu meminjam uang kepada saudara tuaku. “Sudah diransfer semua. Tulisanku belum ada lagi yang dimuat. Sekarang yang jago mengarang banyak. Sedangkan lahan mengarang terbatas. Apalagi orang sekarang bosan dengan karang-karangan. Tak hanya penulis fiksi yang suka mengarang, juga pejabat, juga calon wakil rakyat.” Bicaraku melebar ke mana-mana. Itu sebenarnya hanya senjata, hingga topik pembicaraan kami hijrah dari masalah ekonomi ke masalah sosial-politik.
“Kapan ya hidup kita bisa lebih mapan seperti si Safri itu. Sekarang dia sudah memiliki mobil dua….”
“Juga beristri dua! Kau mau aku berbuat begitu?”
Hening.
“Mau?”
Dia menggeleng. “Aku hanya ingin mobil dua! Mas selalu pintar mengalihkan pembicaraan.”
Di hari lain wajahnya seterang purnama. Aku heran, padahal hampir dua minggu aku tak menghasilkan apa-apa berupa uang. Dan kutahu dia tak hanya telah mengutang di warung, juga menjual kalung emas.Kenapa tak ada hujan tak ada angin, dia berubah begitu?
Lebih terkejut lagi melihat hidangan di atas meja makan. Tak pernah-pernah lebih mewah dari sayur bening, ikan asin dan sambal belacan. Tapi kali itu ada ayam goreng, kari daging, setoples kerupuk udang, juga semangka yang merona merah. Dapat rejeki darimana dia? Atau, dia kembali ke jalannya? Terbayang aku temaram lampu jalan dan kaki-kaki jenjang yang menjaja di sepanjang trotoar.
“Jangan pernah menganggap aku seperti dulu!” Istriku langsung membantah, sebelum aku mengajukan kecurigaan.
“Lalu, darimana semua ini kalau bukan dari lelaki?”
“Ini memang dari lelaki!”