Aku menulis terburu. Sangat terburu.
“Sudah selesai, Osman?” Lelaki itu melintas lagi, kali ke sepuluh dalam lima minggu ini.
“Sebentar, Tuan!”
“Sebentar? Selalu saja sebentar!” Dia berlalu sambil bersungut.
Aku memang seorang penulis, tapi bukan pengarang yang bagus. Apalagi untuk menulis surat untuk dia. Haruskah aku berbohong telah membencinya? Umpama aku bisa membencinya hari ini, namun hari lain membantah, tentu tak lucu, kan!
Lagi pula bagaimana aku harus menulis kata-kata indah agar diatak sakit hati? Tak cemburu, lalu meninggalkanku dengan amarah menggebu? Ah, sebenarnya aku masih takut kehilangannya!
Dulu sekali aku dan dia sangat akrab. Dalam setiap tulisanku, tanpa namanya, terasa hambar. Aku merasa tersanjung setiap kali kami bertemu. Bahkan dalam malam dingin dan berhujan, terasa hangatnyamemeluk erat tubuhku.
Hingga waktu kemudian membiarkanku menerka-nerka apakah dia tulus menyintaiku? Bagaimanapun, seringkali di antara jeda tertentu, aku merasa dia tinggalkan. Aku cemburu jika dia terlalu peduli dengan urusan lain, atau lelaki lain, mungkin. Atau bukannya aku yang kemudian diam-diam sesekali melupakannya?
Pertemuan dengan Tuan Marsis adalah muasal keretakan hubungan kami. Di senja yang remang, dalam sebuah gerbong kereta malam, tanpa sengaja tempat duduk kami berhadapan. Aku sedang asyik menulis tentang hujan dan dia. Hanya sebuah puisi. Kendati sebuah puisi, tapi telah lima lembar kertas terbuang, menggumpal di sudut jok. Apakah sangat sulit bagiku mengutarakan rasa cinta?
“Cintamu kepadanya hanyalah kesia-siaan,” kata Tuan Marsis tiba-tiba. Kertas keenam akhirnya menemui ajal di sudut jok. Aku merasa terganggu. Tepatnya pada kata-katanya yang seolah menelanjangi.
“Darimana kau tahu?”