Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Penyakit Aneh

1 Juli 2015   15:11 Diperbarui: 1 Juli 2015   15:11 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

 

Oleh : Rifan Nazhif

 

Hampir seminggu ini Mardani kebingungan dengan orang-orang di sekitarnya. Saat berada di kantor dan mendengar karyawan berbicara, memang tak ada masalah. Timbul masalah ketika mereka ingin meminta sesuatu kepadanya. Cara berbicara mereka seperti pita kaset kusut. Atau, tak lebih suara chipmunk. Dia terpaksa meminta karyawan mengulang-ulang apa yang mereka minta.

Mula-mula karyawan maklum. Mereka mengulang dua-tiga kali hingga Mardani paham. Tapi siapa yang tahan berbicara dengan orang super budek itu. Mereka sebenarnya ingin berbicara teriak-teriak. Hanya saja tak sopan bila dilakukan kepada seorang bos. Yang ada mereka bisa dipecat. Pilihan paling aman adalah menuliskan permintaan-permintaan mereka dan menyerahkannya kepada Mardani.

Di rumah Mardani, ketika anak-istrinya tengah berbicara, dia mendengar jelas apa yang mereka omongkan. Berbeda ketika ingin meminta sesuatu kepadanya, dia lagi-lagi mendengar suara kaset kusut. Suara film chipmunk. Istrinya heran, lalu memeriksa liang telinga Mardani. Semua normal. Liang telinga lelaki itu tak ada sumbatan. Di usia yang baru menginjak empat puluh tahun, mustahil pula dia bermasalah dengan telinga. Belakangan setiap meminta sesuatu, anak-istrinya terpaksa menjerit. Tak ada alasan lain, Mardani harus bertandang ke klinik dokter Muaz.

Dokter Muaz tersenyum setelah memeriksa telinga Mardani. Katanya, “Tak ada persoalan dengan telinga Bapak. Semua beres. Bapak benar-benar sehat walafiat. Tensi darah juga nomal. Mungkin bawaan stress saja, Pak.” Dokter itu memutar-mutar pena di atas meja. “Tapi rasanya tak mungkin. Stress tak pernah menyebabkan kerusakan telinga.” Dia membantah pendapatnya sendiri.

Dokter hanya meresepkan obat penenang. Hasilnya pendengaran Mardani benar-benar tenang, alias tak bisa mendengar apa-apa selain dengkurnya sendiri. Obat penenang itu membuatnya lebih cepat tidur dan lebih lambat bangun. Berkali-kali pula dia harus menahan malu karena tertidur di meja kantor.

“Mungkin Bapak terkena guna-guna,” kata istrinya suatu sore ketika mereka menikmati cahaya matahari di beranda depan.

“Guna-guna? Aduh, Bu! Tak usah percaya masalah guna-guna segala. Penyakit itu datangnya dari Allah, bukan atas perbuatan manusia. Semakin kita percaya guna-guna, maka seluruh penyakit yang kita derita sepertinya melulu karena guna-guna.”

“Lho, bisa jadi, Pak!” istrinya meyakinkan Mardani. Beberapa tahu belakangan ini perusahaan miliknya maju pesat. Rumah mereka bisa direnovasi lebih mewah. Belum lagi Ada tiga unit parkir di garasi. Ya, tentu saja ada orang yang iri. Terutama saingan-saingan bisnis Mardani. Begitupun lelaki itu yakin seratus persen bahwa tak ada orang yang iri kepadanya.

“Apakah ini balasan atas kesalahan Bapak? Mungkin saja Allah sedang mengingatkan Bapak,” lanjut istrinya.

Mardani terdiam. Sepuluh tahun lalu, hidupnya bergelimang dosa. Dia senang berjudi. Dari judi dadu hingga sabung ayam. Hampir setiap malam dia ke tempat remang-remang. Saat itu kondisi keuangan keluarganya kritis. Bahkan perusahaan yang susah-payah dirintis ayahnya dari nol besar hampir saja bangkrut.

Beruntung seorang teman berhasil merubah pola hidupnya. Pelan-pelan dia mulai serius memikirkan kondisi perusahaan. Dia meninggalkan perjudian setahap demi setahap, juga urusan tempat remang-remang. Sejak itu roda kehidupan keluarganya berjalan lancar. Dari memiliki lima orang karyawan. dia mampu menghidupi tiga puluh karyawan. Bahkan genap tiga tahun setelah meninggalkan dunia hitam, perusahaan Mardani memiliki cabang di tiga kota besar. Jadi, dosa besar apa yang menyebabkannya harus menerima penyakit aneh itu? Dokter sampai terheran-heran dan mengaku menyerah tak bisa mengobati kelainan di telinga Mardani.

Karena gelap mata, dia  mau diajak istrinya menemui dukun tersohor di sebuah perkampungan. Dia melakukan semua ritual yang disuruh si dukun.  Nyatanya bukan kesembuhan yang diperoleh. Dia malahan berubah seperti ayam menelan gelang karet.

“Kita telah musyrik, Bu,” keluh Mardani sepulang kantor. Lalu dia terdiam. Duduk di sofa dengan pandangan kosong. “Oya, makan malam sudah siap, Bu? Lapar berat, nih!” Lalu  dia bengong lagi. Kalau tak ditegur istrinya, dia akan seperti orang bodoh beberapa menit.

Ritual pengobatan dari dukun itu dia tinggalkan. Mardani kembali menjadi orang normal, tapi tak dengan telinganya. Belakangan bukan karyawan saja yang menuliskan seluruh permintaan mereka kepada Mardani, termasuk anak-istrinya. Lengkaplah kesedihan melanda batin lelaki itu. Dia semakin sering beribadah. Meminta pertolongan kepada Allah atas kesembuhan penyakitnya.

Nyatanya penyakit itu tak sembuh juga. Dia mulai berpikir Allah berlaku tak adil kepadanya. Jangankan beribadah lebih rutin, bersedekah kepada fakir miskin hampir dua kali seminggu dia lakukan. Berarti itu semua tak lagi ada gunanya.

Suatu senja selepas jam kantor, lelaki itu bukannya pulang ke rumah. Dia malahan memutar arah mobil ke utara. Dia kemudian memarkirkan mobil di depan sebuah tempat berpenerang suram.

Pelan-pelan, dengan perasaan bimbang, dia memasuki tempat itu. Beberapa orang yang dulu akrab dengannya, sangat takjub. Mereka tertawa bahagia. Buru-buru menyalami Mardani. Buru-buru merangkul karib lama mereka itu.

“Akhirnya kau kembali ke jalan yang benar, Mardani!” Sofyan merengkuh bahu karibnya itu, dan menuntunnya ke meja bartender. Beberapa karib lainnya mengekor sambil tertawa lebar. Bila Mardani kembali ke habitat awal, maka akan banyak yang pesta pora karena beroleh minuman keras gratis. Apalagi sekarang perusahaan Mardani maju pesat. Dulu semasa hidup susah saja dia royal, apalagi setelah kaya.

“Mau minum apa? Sekarang banyak minuman baru yang lebih keras, berkelas dan berharga malam. Selepas ini kita ke dalam. Pokoknya banyak permainan ketangkasan berhadiah besar yang dulu tak pernah kau temui. Semua barang-barang di dalam import dan beli baru. Beruntung kau datang hari ini. Sekarang ada diskon jor-joran untuk merayakan ulang tahun kelima belas tempat ini. Ya, anggap saja ulang tahun perawan ting-tinglah.” Usep tersenyum lebar.

Hampir saja  dia meminum minuman keras yang disodorkan Sofyan, kalau saja ingatannya tak kembali ke masa suram dulu. Dia kemudian memilih melongok ke ruang permainan ketangkasan. Seketika terbit liurnya dan tergoda untuk mengundi nasib. Lagi-lagi dia teringat keluarganya yang hampir hancur berantakan lantaran judi.

“Sepertinya aku telah salah jalan, Sofyan.” Dia menepuk bahu sahabatnya itu, dan berjalan cepat menuju parkiran.

“Inilah jalan yang benar, Mardani. Ayo, kali ini aku yang traktir,” rayu Sofyan.

Mardani menepiskan tangannya menampar angin. Dia buru-buru melajukan mobil meninggalkan karib lamanya yang menatap kecewa. Dia merasa sangat bersalah karena telah menyepelekan Allah. Apa yang dia alami taklah seberapa dibanding orang lain. Penyakitnya bukan pula apa-apa dibandingkan orang-orang yang mempertahankan hidupnya dengan obat. Mereka yang terkena serangan penyakit degeneratif. Mereka yang berpenyakit kangker, tumor.

Mardani melajukan mobilnya menuju selatan. Azan isya berkumandang dari sebuah masjid. Dia memarkirkan mobil dan melaksanakan shalat isya berjamaah. Di tempat itulah dia bertemu Zulkarnaen. Mereka berpelukan erat.

“Kau kok kelihatan kusut, Mardani? Beberapa bulan lalu kau kelihatan gagah.” Mata Zulkarnaen menatap kawannya itu serius. Hidungnya membaui ada aroma tak sedap dari baju Mardani. “Mar, kenapa kau harus kembali ke jalan yang salah?”

“Hampir, Zul. Tapi imanku masih kuat.” Mardani kemudian menceritakan kemalangan yang dia derita. Dia tak lupa mengatakan telah berobat ke beberapa dokter paten, bahkan sempat sekali berobat kepada dukun tersohor. Nyatanya penyakit aneh itu tetap melekat di telinganya. Itulah yang membuatnya terangsang untuk menjalani kembali masa lalunya. Mutlak karena dia merasa Allah tak adil.

“Istigfar, Mardani. Anggap saja penyakit aneh itu cobaan bagimu. Penyakit yang akan menghapus dosa-dosamu.”

* * *

Azan shubuh baru saja berkumandang ketika Mardani tiba di masjid dekat rumahnya. Seperti biasa dia dipercayakan menjadi imam. Selepas shalat shubuh dia tertunduk. Kalau tak ada yang menegur agar dia mulai memimpin doa, Mardani akan terus tertunduk. Agak terburu dia memimpin doa. Dan saat itulah dia seperti tersadar.

Selama ini saat mengimami shalat, bahkan saat memimpin doa, Mardani selalu melakukannya dengan cepat dan seolah terburu. Memang Allah itu maha mendengar dan mengetahui. Tapi mestikah harus meminta sesuatu kepada-Nya dengan cepat dan terburu?

Bagaimana kalau anak-istri, karyawan-karyawanku meminta sesuatu kepadaku dengan terburu? Tentu rasanya tak enak. Mungkin inilah tujuan Allah menegurku. Batinnya bergolak. Mardani memperpelan doanya. Sejak itulah saat menjadi imam shalat maupun memimpin doa atau pengajian, dia membiasakan diri dengan perlahan dan lebih khusyuk.

Suatu pagi sepulang mengimami shalat shubuh di masjid, dia disongsong istrinya di pintu depan. Si istri menyerahkan catatan permintaan kepada Mardani.

“Ada apa, Bu?” tanya Mardani sambil menerima catatan itu.

“Mau minta uang belanja. Ibu mau ke pasar.” Lancar dan bersih Mardani mendengar istrinya berbicara. Tanpa berusaha membaca, catatan itu dia remas lalu membuangnya ke tong sampah.

Dia sebenarnya sangat takjub menyadari keajaiban yang dia alami. Tapi dengan santai dia berkata, “Sebentar Bapak ambil di kantong celana ya, Bu.”

“Lho, Bapak sudah sembuh?”

“Alhamdulillah?”

“Karena apa, Pak?”

“Kok Ibu seperti kurang setuju penyakit Bapak telah sembuh?”

“Bukan begitu, Pak. Tapi....”

Mardani tersenyum geli.

---sekian---

 

 

 

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun