Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Penyakit Aneh

1 Juli 2015   15:11 Diperbarui: 1 Juli 2015   15:11 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Hampir saja  dia meminum minuman keras yang disodorkan Sofyan, kalau saja ingatannya tak kembali ke masa suram dulu. Dia kemudian memilih melongok ke ruang permainan ketangkasan. Seketika terbit liurnya dan tergoda untuk mengundi nasib. Lagi-lagi dia teringat keluarganya yang hampir hancur berantakan lantaran judi.

“Sepertinya aku telah salah jalan, Sofyan.” Dia menepuk bahu sahabatnya itu, dan berjalan cepat menuju parkiran.

“Inilah jalan yang benar, Mardani. Ayo, kali ini aku yang traktir,” rayu Sofyan.

Mardani menepiskan tangannya menampar angin. Dia buru-buru melajukan mobil meninggalkan karib lamanya yang menatap kecewa. Dia merasa sangat bersalah karena telah menyepelekan Allah. Apa yang dia alami taklah seberapa dibanding orang lain. Penyakitnya bukan pula apa-apa dibandingkan orang-orang yang mempertahankan hidupnya dengan obat. Mereka yang terkena serangan penyakit degeneratif. Mereka yang berpenyakit kangker, tumor.

Mardani melajukan mobilnya menuju selatan. Azan isya berkumandang dari sebuah masjid. Dia memarkirkan mobil dan melaksanakan shalat isya berjamaah. Di tempat itulah dia bertemu Zulkarnaen. Mereka berpelukan erat.

“Kau kok kelihatan kusut, Mardani? Beberapa bulan lalu kau kelihatan gagah.” Mata Zulkarnaen menatap kawannya itu serius. Hidungnya membaui ada aroma tak sedap dari baju Mardani. “Mar, kenapa kau harus kembali ke jalan yang salah?”

“Hampir, Zul. Tapi imanku masih kuat.” Mardani kemudian menceritakan kemalangan yang dia derita. Dia tak lupa mengatakan telah berobat ke beberapa dokter paten, bahkan sempat sekali berobat kepada dukun tersohor. Nyatanya penyakit aneh itu tetap melekat di telinganya. Itulah yang membuatnya terangsang untuk menjalani kembali masa lalunya. Mutlak karena dia merasa Allah tak adil.

“Istigfar, Mardani. Anggap saja penyakit aneh itu cobaan bagimu. Penyakit yang akan menghapus dosa-dosamu.”

* * *

Azan shubuh baru saja berkumandang ketika Mardani tiba di masjid dekat rumahnya. Seperti biasa dia dipercayakan menjadi imam. Selepas shalat shubuh dia tertunduk. Kalau tak ada yang menegur agar dia mulai memimpin doa, Mardani akan terus tertunduk. Agak terburu dia memimpin doa. Dan saat itulah dia seperti tersadar.

Selama ini saat mengimami shalat, bahkan saat memimpin doa, Mardani selalu melakukannya dengan cepat dan seolah terburu. Memang Allah itu maha mendengar dan mengetahui. Tapi mestikah harus meminta sesuatu kepada-Nya dengan cepat dan terburu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun