“Apakah ini balasan atas kesalahan Bapak? Mungkin saja Allah sedang mengingatkan Bapak,” lanjut istrinya.
Mardani terdiam. Sepuluh tahun lalu, hidupnya bergelimang dosa. Dia senang berjudi. Dari judi dadu hingga sabung ayam. Hampir setiap malam dia ke tempat remang-remang. Saat itu kondisi keuangan keluarganya kritis. Bahkan perusahaan yang susah-payah dirintis ayahnya dari nol besar hampir saja bangkrut.
Beruntung seorang teman berhasil merubah pola hidupnya. Pelan-pelan dia mulai serius memikirkan kondisi perusahaan. Dia meninggalkan perjudian setahap demi setahap, juga urusan tempat remang-remang. Sejak itu roda kehidupan keluarganya berjalan lancar. Dari memiliki lima orang karyawan. dia mampu menghidupi tiga puluh karyawan. Bahkan genap tiga tahun setelah meninggalkan dunia hitam, perusahaan Mardani memiliki cabang di tiga kota besar. Jadi, dosa besar apa yang menyebabkannya harus menerima penyakit aneh itu? Dokter sampai terheran-heran dan mengaku menyerah tak bisa mengobati kelainan di telinga Mardani.
Karena gelap mata, dia mau diajak istrinya menemui dukun tersohor di sebuah perkampungan. Dia melakukan semua ritual yang disuruh si dukun. Nyatanya bukan kesembuhan yang diperoleh. Dia malahan berubah seperti ayam menelan gelang karet.
“Kita telah musyrik, Bu,” keluh Mardani sepulang kantor. Lalu dia terdiam. Duduk di sofa dengan pandangan kosong. “Oya, makan malam sudah siap, Bu? Lapar berat, nih!” Lalu dia bengong lagi. Kalau tak ditegur istrinya, dia akan seperti orang bodoh beberapa menit.
Ritual pengobatan dari dukun itu dia tinggalkan. Mardani kembali menjadi orang normal, tapi tak dengan telinganya. Belakangan bukan karyawan saja yang menuliskan seluruh permintaan mereka kepada Mardani, termasuk anak-istrinya. Lengkaplah kesedihan melanda batin lelaki itu. Dia semakin sering beribadah. Meminta pertolongan kepada Allah atas kesembuhan penyakitnya.
Nyatanya penyakit itu tak sembuh juga. Dia mulai berpikir Allah berlaku tak adil kepadanya. Jangankan beribadah lebih rutin, bersedekah kepada fakir miskin hampir dua kali seminggu dia lakukan. Berarti itu semua tak lagi ada gunanya.
Suatu senja selepas jam kantor, lelaki itu bukannya pulang ke rumah. Dia malahan memutar arah mobil ke utara. Dia kemudian memarkirkan mobil di depan sebuah tempat berpenerang suram.
Pelan-pelan, dengan perasaan bimbang, dia memasuki tempat itu. Beberapa orang yang dulu akrab dengannya, sangat takjub. Mereka tertawa bahagia. Buru-buru menyalami Mardani. Buru-buru merangkul karib lama mereka itu.
“Akhirnya kau kembali ke jalan yang benar, Mardani!” Sofyan merengkuh bahu karibnya itu, dan menuntunnya ke meja bartender. Beberapa karib lainnya mengekor sambil tertawa lebar. Bila Mardani kembali ke habitat awal, maka akan banyak yang pesta pora karena beroleh minuman keras gratis. Apalagi sekarang perusahaan Mardani maju pesat. Dulu semasa hidup susah saja dia royal, apalagi setelah kaya.
“Mau minum apa? Sekarang banyak minuman baru yang lebih keras, berkelas dan berharga malam. Selepas ini kita ke dalam. Pokoknya banyak permainan ketangkasan berhadiah besar yang dulu tak pernah kau temui. Semua barang-barang di dalam import dan beli baru. Beruntung kau datang hari ini. Sekarang ada diskon jor-joran untuk merayakan ulang tahun kelima belas tempat ini. Ya, anggap saja ulang tahun perawan ting-tinglah.” Usep tersenyum lebar.