Pada suatu pagi, ada anak muda sedang melamun di bawah pohon rindang. Ialah seorang siswa kelas tiga SMA, ia bernama Fiko. Ia bercita-cita masuk Perguruan Tinggi Negeri dan ingin menjadi dosen. Fiko adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Ia memiliki seorang ayah yang sangat kuat, tangguh dan ia sering menyebutnya pahlawan jiwa keluarga.
Ayahnya bekerja di salah satu perusahaan milik negara sebagai pengantar surat dan paket ke setiap gedung-gedung dan rumah-rumah di wilayah Jakarta Pusat, serta Ibuku hanyalah seorang ibu rumah tangga.Â
Ayahnya setiap setelah mengantarkan sebagian atau keseluruhan antarannya, ayahnya selalu mampir ke tempat biasa beliau beristirahat, yaitu di bawah pohon rindang yang ditutupi dedaunan yang lumayan lebat, sehingga dapat melindungi Ayahnya dari sinar mentari yang sangat menusuk ketika Ia beristirahat.
Ayahnya selalu rutin beristirahat di bawah pohon itu, sembari menyortir atau mengecek pekerjaannya. Namun, ayahnya Fiko memiliki sebuah penyakit berupa benjolan sebesar kelereng yang tertanam di leher sejak ayahnya masih muda. Ayahnya sendiri tidak tahu benjolan itu berbahaya atau tidak, tetapi benjolan itu semakin hari semakin tumbuh besar.
Setiap kali ayahnya beristirahat di bawah pohon itu, ia selalu merenungkan penyakit benjolannya yang semakin lama, semakin membesar bagaikan krikil dalam leher.Â
Ayahnya selalu merenungkan hal itu hingga selalu menintikan air mata. namun, Ia selalu menyembunyikan hal ini dari Fiko dan keluarganya karena ingin tetap terlihat sebagai pahlawan yang kuat di keluarganya.
Pada akhir tahun 2015, ayahnya Fiko menjalani operasi bedah penyakit dalam. Ia bersama sang istri, yaitu ibunya Fiko mengurus berkas-berkas untuk menjalani operasi benjolan itu di salah satu Rumah Sakit di Jakarta.Â
Hingga tibalah waktu untuk melakukan operasi. Ayahnya menjalani operasi bedah selama beberapa jam, hingga akhirnya selesai operasi ayahnya dirawat selama satu pekan. Lalu, ayahnya diperbolehkan pulang dan hilanglah benjolan itu dari lehernya.Â
Fiko sangat senang melihat raut wajah ayahnya yang begitu senang, sehingga menampakan indahnya wajah yang mulai timbul keriput dan senyum bernilai.
###
Fiko sekolah di salah satu SMA swasta di Jakarta. Sebelum ia masuk SMA beberapa tahun lalu, ia bersekolah di SMP swasta di salah satu kota di Jakarta. Fiko sangat tidak menyukai bersekolah di SMP tersebut, dikarenakan sekolahnya yang terbilang biasa-biasa saja.Â
Namun, mau bagaimana lagi, nilai akhirnya yang tidak mendukung untuk masuk negeri dengan terpaksa ia masuk SMP swasta tersebut dan ia sangat berkecil hati. Ketika ia berkecil hati dan terdiam, tiba-tiba Ayahnya berkata.
"Sekolah di mana aja ko, mau itu negeri, mau swasta, semuanya sama, kualitas pendidikan seseorang tidak ditentukan di mana dia sekolah, dari mana dia lulus, tetapi kualitas pendidikan seseorang berasal dari diri orang tersebut, dari kemauan dan semangat dalam belajar, sekolah hanya sebagai wadah dalam menempuh pendidikan, tetapi kesuksesan seseorang itu dari dalam diri sendiri," ucap sang ayah sambil menyeruput kopi dan bersandar di tembok. Fiko hanya manggut-manggut saja mendengar nasihat Ayahnya sambil berpikir.
"Banyak orang-orang di luar sana yang sekolahnya favorit, sekolahnya mewah, sekolahnya negeri, tapi engga menjamin kesuksesan orang tersebut, buktinya banyak orang yang dari SD sampe kuliah di Universitas Negeri, banyak juga yang tidak sukses, yang biasa-biasa saja, jadi sekolah atau kuliah di mana saja itu sama," ayahnya melanjutkan pembicaraanya untuk memberi wejangan kepadanya agar semangat.Â
Akhirnya Fiko merasa tenang dan menjadi semangat dalam bersekolah, hingga lulus SMP dengan nilai yang memuaskan dan cukup tinggi.
###
Setelah lulus SMP, Fiko melanjutkan pendidikannya ke SMA, tetapi tidak sekolah di SMA negeri dan kembali bersekolah di SMA swasta, dikarenakan walau nilai ujian akhirnya cukup tinggi, tetapi masih kalah tinggi dengan yang lainnya karena nilainya murni dari bocoran kunci jawaban, tidak seperti teman-temannya yang menggunakan bocoran. Sudah beberapa jalur untuk masuk SMA negeri ia ikuti, tetapi nihil hasilnya hingga pada akhirnya ia sekolah di SMA swasta. Namun, kali ini ia tidak berkecil hati karena perkataan Ayahnya pada tiga tahun lalu ketika ia mau masuk SMP membuat dirinya selalu semangat dan optimis. Ia pun merasa nyaman bersekolah di SMA tersebut.
Fiko terkadang suka mengomeli ayahnya, ketika telat menjemut Fiko di sekolah, karena pada saat ia kelas satu SMA, ia tidak membawa sepeda motor. Namun, ayahnya hanya tersenyum manis ketika Fiko mengomeli ayahnya. Setelah kelas dua SMA ia membawa sepeda motor sendiri dan hingga sekarang ia sudah kelas tiga SMA, dikit lagi akan menempuh Ujian Nasional.
Hari-hari dilaluinya dengan sangat baik. Kecerian ayahnya, ibunya dan keluarganya dalam istana kecil rumahnya. Seketika semua itu berubah menjadi duka, penyakit ayahnya yang sebelumnya sudah hilang dioperasi, kini tiba-tiba muncul kembali dan timbul lagi. Kali ini benjolan itu begitu cepat bereaksi dan begitu cepat membesar dari yang sebelumnya, mereka semua cemas, khawatir dan takut terutama ayahnya, raut wajahnya yang
indah, penuh keceriaan, bercahaya seketika berubah menjadi redup temaram yang tampak di wajahnya.
Perubahan dari efek penyakit ini begitu cepat menyerang. Ayahnya semakin hari mulai merasakan mati saraf pada bagian kanan tubuhnya, tetapi ayahnya masih memaksakan untuk bekerja,memaksakan mengendarai sepada motor hujan-hujan dengan keadaan tangan yang tak sempurna untuk digerakan. Namun, ibunya melarang dan mengejar ayahnya agar untuk tidak memaksakan berangkat.Â
Akhirnya Ayahnya berhenti karena benar-benar tidak bisa menekan pedal gas sepeda motor, lalu ayahnya menangis, karena hal ini terjadi pada diri beliau, ayahnya tidak ingin diam saja di rumah, ayahnya ingin bekerja berjuang demi keluarga kecilnya. Namun, di sisi lain beliau harus berjuang melawan penyakitnya.
Hari terus berjalan mengejar waktu yang begitu cepat. Ayahnya Fiko dibawa ke Rumah Sakit kembali dan dirawat kembali di Rumah Sakit dengan waktu yang cukup lama.Â
Kondisi Ayahnya semakin memburuk, sudah tidak bisa menikmati makanan seperti sebelumnya, ayahnya harus menikmati makanan menggunakan selang yang melalui rongga hidungnya.Â
Fiko tidak tega melihatnya, ia benar-benar tak berdaya, ia menemani di bangku rumah sakit sembari membaca buku pelajaran karena aku sudah kelas tiga SMA maka ia terus belajar untuk melakukan ujian nasional.
###
Setelah Fiko melakukan Ujian Nasional (UN), sudah dua bulan Ayahnya di Rumah Sakit, ia harus bolak-balik menginap di Rumah Sakit. Fiko menenangkan dirinya menunggu hasil nilai Ujian Nasional yang akan diumumkan besok melalui email, tiba-tiba pada Jumat malam ia dikabarkan bahwa ayahnya kembali memburuk.Â
Fiko pun kaget dan panik ditambah bibinya ke rumah meminta sebuah kain untuk dibawa ke Rumah
Sakit, pikirannya kini semakin kacau dan tidak tenang.
Keesokan harinya ia diboncengi kakaknya menuju Rumah Sakit. Setibanya di Rumah Sakit ia buru-buru menuju kamar ayahnya dirawat, bahkan dirinya lupa kalau hari ini, hari ia pengumuman.Â
Fiko tidak peduli dan berlari menuju ruangan ayahnya. Ketika ia memasuki pintu ruang rawat inap ayahnya, ia lemas, tersungkur, menangis, dan histeris karena ayahnya dalam keadaan koma, dengan mulut penuh selang, alunan detak mesin jantung terus mengiringi.
Fiko tak tahan menahan isak tangis, ia tidak menyangka perjuangan ayahnya akan berakhir di sini di depannya, di saat ini ia pengumunan kelulusan.Â
Fiko membuka ponselnya dan melihat sebuah email masuk dan ia buka ternyata pengumuman kelulusan, ia dinyatakan lulus dengan nilai terbaik. Fiko pun langsung menghampiri dan mengabari ayahnya yang sedang koma tak sadarkan diri dengan membisikan telinganya dan berkata.
"Yah, aku lulus Yah, aku lulus dengan nilai yang memuaskan Yah, aku lulus Yaah" sambil menangis.
Ayahnya seketika menitikan air mata disebelah mata kanannya, ternyata merupakan air mata terakhirnya setelah ia bisikan itu ayahnya tak lama kemudian menghembuskan nafas yang terakhir kali.Â
Fiko pun langsung menangis histeris, karena selalu ayahnyalah yang pertama mendengar dan mengetahui kelulusannya sejak SD. Fiko tak henti-henti menjatuhi air mata hingga ayahnya dibawa pulang, mengurusi jenazahnya, hingga dimakamkan.
Ayahnya dimakamkan tepat di bawah pohon yang cukup rindang menaungi kuburan ayahnya. Seperti semasa hidup dalam perjuangan ayahnya ketika berkerja, beliau suka brteduh dan duduk di bawah pohon untuk menitikan air mata dan kembali di bawah pohon dalam keadaan jasad tak bernyawa yang terbenam dalam balutan tanah, sebaliknya mereka sekeluargalah yang menitikan air mata di bawah pohon itu.
Perjuangan ayahnya telah usai dalam keluarga dan dalam melawan penyakitnya. Sekarang perjuangan itulah yang Fiko lanjutkan untuk dibuktikan kepada ayahnya. Fiko pun mengikuti beberapa tes di beberapa universitas dan pada akhirnya ia pun diterima di Perguruan Tinggi Negeri.
Fiko mengikuti perkuliahan dengan baik hingga aku lulus tepat waktu dengan nilai yang memuaskan. Lalu, ia melanjutkan pendidikannya mengambil gelar magister di salah satu Perguruan Tinggi Negeri selama dua tahun dan lulus dengan nilai yang memuaskan.Â
Setelah lulus S2 ia melamar sebagai dosen dan diterima sebagai dosen di universitas ternama di Jakarta. Ia melanjutkan dan membuktikan mimpi perjuangan ayahnya hingga sekarang ia telah menjadi dosen yang hebat selalu menerapkan prinsip ayahnya.
Sekolah, kuliah, menempuh pendidikan di mana pun sama, tergantung pada dirinya masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H