Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - Menebus bait

Karyawan swasta dan penulis. Menulis sejak 1989 sampai sekarang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Cerita yang Terlepas] Selasar Usia

7 April 2020   17:15 Diperbarui: 7 April 2020   17:27 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di situlah dia berada. Pada warung kecil menggoda, menyempil di sebelah toko semi permanen. Penjual gado-gado yang apik merawat selera. Aku selalu melambatkan laju motor saat melintasi warungnya. Melapangkan rongga dada, agar aroma kuah kacang bisa bersemayam. Kau tahu, betapa rasanya membelit lidah,  melilit selera bersantap, entah kenapa.

Kau mungkin menebak aku penggatal. Hmm, sejahat itu tebakanmu?

Mungkin si penjual gado-gado berwajah cantik, tubuh gitar spanyol, lagi janda muda. Dasar! Apakah janda muda selalu identik dengan pelakor?

Kau tetap kukuh dengan pendapat awal, bahwa aku  suka gado-gado di warung itu mutlak karena penjualnya. Ya, bisa jadi. Aku memang sangat tertarik kepadanya. Perempuan pelit senyum bertatap lamur. Tubuh ibarat padi bunting, merunduk bukan berisi, melainkan kerut usia telah melipat habis masa  mudanya.

Walaupun  berusia 90 tahun lebih, dia tak lelah menarung hidup, hingga kelak tangan maut benar-benar mengambilnya dari atas bumi ke liang tanpa bisa kembali.

Kataku, dia perempuan tua pemarah. Setiap aku berbelanja, dia selalu berucap ketus, minus senyum.  Tapi aku tetap menjadi pelanggan setia. Anehnya, setua itu, gurih gado-gado olahannya tetap selangit.  Aku kerap bingung karena dia masih hapal bagaimana mengadon bumbu yang membuat lidah berdangdut ria.

Hingga saat panas membakar lalul-lintas siang itu, rindu lidahku berkepusu. Air ludah menerbitkan hujan lokal. Mendengus pelan, kuparkirkan motor di samping warungnya.

Pukul satu siang. Udara garang. Di dalam semacam bakul rotan, pada etalase sederhana, hanya ada setumpuk kecil sayur gado-gado. Aku melihat perempuan itu dibuai angin lalu, duduk di kursi plastik. Oleng ke sana-ke mari. Dia mungkin bermimpi sedang  di atas ketek, berlayar di derasnya Musi.

Rambutnya riap-riapan. Aku teringat mendiang Mak. Ah, aku menjadi sedih. Andai engkau masih hidup, Mak, mungkin romanmu tak jauh beda dengan perempuan itu.

"Mbah!" ucapku lembut. Perempuan itu bergeming. "Mbah! Mbah!" ucapku lebih keras. Mungkin suaraku mengganggu seibarat ngingngong nyamuk nakal,. Dia merubah posisi duduk. Tetap dengan mata terpejam. Tertidur. "Mbah! Mbah! Gado-gadonya, Mbah!" Suaraku melebihi keras sebelumnya, dengan penambahan kata gado-gado.

Apa karena dia lebih hapal dengan kata gado-gado ketimbang "mbah", aku sendiri tak tahu. Dia  terbangun dengan iler menjalar bibir. Malu-malu dia tersenyum menghapusnya.

"Ah, eh, oh, Nak. Maaf, aku ketiduran." Dia berdiri menatap ke bakul rotan. Tertawa kecil sambil mengatakan aku beruntung. Biasanya sesiang  itu dia sudah leyeh-leyeh di rumah. Tapi kali itu jualannya agak seret.

"Pedes ya, Mbah!" Aku duduk di bangku panjang. Dia gemetar mengambil kacang goreng yang diulek kasar, lalu memasukkannya ke atas penggilingan. Perlahan pula memasukkan bumbu lain, tertunduk-tunduk. 

Tangan keriput si mbah seperti memiliki mata,  sangat hapal menggabungkan bahan yang berbeda hingga menjelma sepinggan gado-gado indah menggoda.

Betapa kagum aku kepadanya, sekaligus iba mendera. Perempuan setua dia masih menarung hidup. Harusnya tunas-tunas muda menggantikannya mewarnai dunia. Sedangkan dia tinggal duduk santai sambil memerintah ke sana-ke sini.  Tubuh rentanya terlalu lelah mencangkul bumi.

Saat menghidangkan sepinggan gado-gado, aku melihat betapa dia kembali tersenyum. Bahkan binar matanya yang lamur, seakan menyapaku ramah. 

"Nama Mbah, siapa?" tanyaku pada suapan pertama. Lidahku bergoyang menahan pedas dan nikmat.

"Apa? Kurang pedas ya, Nak?" Oh, aku baru tahu pendengarannya mulai berkurang. Salahku terlalu pelan berbicara.

"Bukan. Nama Mbah, siapa?" ulangku. Dia tertawa lirih sambil menyebut namanya; Tini. Perlahan pula  dia bercerita panjang lebar tentang keluarganya. Tubuhnya yang semakin cepat lelah.

Mbah Tini mohon maaf karena usia telah melemahkan daya dengarnya. Tapi tidak dengan mata.

Seakan ingin membuktikan daya lihatnya, dia berkata, "Kamu cukup tampan, Nak!" Aku hampir tersedak malu, buru-buru minum. Lalu mengintip raut si mbah yang girang dari bibir gelas. "Kenapa? Apa aku salah? Hidungmu mancung amat!"

"Nah itu baru benar, Mbah? Aku seperti Pinokio, tapi bukan pembohong. Aku juga tak bohong rasa gado-gado ini selangit," kataku menggoda. Dia membuang pandang. Mungkin jengah sebab rasa gado-gadonya kupuji. "Ngomong-ngomong tak ada yang menggantikan Mbah berjualan gado-gado?"

Dia menetapku seperti kurang senang. Dia berdiri, berjalan pelan menuju etalase. Menyusun seluruh perlengkapan jualan ke rak besar di bawahnya. Lalu sangat hati-hati menata barang pecah-belah. 

Tangannya mengapung di atas pingganku. Ada tersisa dua sendok makan gado-gado. Dia pun tertawa, karena aku belum selesai bersantap.

Berjualan gado-gado adalah hidupku sejak puluhan tahun lalu. Anak-cucu aku punya. Tapi bila mereka yang berjualan, apa lagi yang dapat kukerjakan? Duduk di rumah? Ah, tidak, tubuhku terasa remuk bila tak bekerja."

"Bukankah bekerja itu yang bisa membuat badan remuk, Mbah?"

"Siapa bilang? Anak muda sekarang memang lain cara berpikirnya. Bekerja itu adalah cara terbaik menikmati hidup. Ah, sudahlah. Aku mau pulang." Dia memanggil becak, lalu menghilang di sebuah lorong sempit beberapa saat kemudian. 

Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Ha? Iyalah! Gado-gado belum kubayar!

***

Pagi temaram turun diam-diam di halaman depan. Hujan dini hari tadi, menyisakan genangan di beberapa bagian.  Kendaraaan melintas satu-satu. 

Istri keluar dari dalam rumah sambil mengucek-ucek rambutnya yang basah dengan handuk merah jambu. Seperti keharusan, selesai mandi besar, dia selalu berhandukkan si merah jambu. Apakah itu pertanda hatinya sedang merah jambu? Dia tersenyum. Sinar matanya seperti tertawa.

Dia bergegas masuk lagi ke dalam rumah, dan kembali dengan segelas kopi-susu serta sepiring kecil roti sumbu. "Sudah mandi, Mas?" 

"Oh, mandi? Belum!" Aku malu. Dia cemberut. Dia paling sebal kalau setelah anu, aku langsung  beraktivitas tanpa mandi terlebih dulu. 

Seiring dia menyerahkan handuk merah jambu, aku sigap berdiri. Saat itulah Sahat menghentikan langkahku. Sahat tertawa renyah di pintu pagar. Istri manyun, dan masuk ke dalam rumah. Dia kembali lagi dengan secangkir kopi dan sepinggan kecil roti tawar berselai kacang.

"Apa kabar, At?' Kawanku itu menatap istri masuk kembali ke dalam rumah. "Habis ituan, ya?"

Aku mengumpat, "Setan kau! Angin apa yang membawamu ke mari?"

"Kira-kira kau pernah menulis cerpen tidak? Tadi aku lihat tadi di warung kopi Mat Lidang."

Pelan-pelan ingatanku menjalar. "Di koran, ya?"

"Iyalah! Memangnya di toples. Kalau tak salah tentang penjual gado-gado. Di koran Terapas"

Aku teringat Mbah Tini, teringat honor satu juta. Tak ada salahnya kan aku membayarnya lebih untuk gado-gado yang lupa kubayar?

***

"Apa? Pagi begini belum ada kembalian!" Mbah Tini masih asyik mengulek bumbu gado-gado. Wajahnya merengut. Dia melirik sambil mengibaskan tangan. "Harga satunya dua belas ribu. Kasih duit kecil sajalah. Masa' seratus ribu!"

"Biarlah sisanya untuk Mbah Tini." Aku merapat ke dekatnya.  Aku menggengamkan seluruh honor cerpenku ke tangannya. Dia berhenti mengulek, menatapku tak suka.

Dia tak ingin hidup dari belas kasihan orang lain. Dia hanya mau menjalaninya dengan jerih- payah sendiri. Dia menggengamkan kembali  uang itu ke tanganku.

"Keluargamu lebih butuh ini ketimbang aku."

"Tapi..." Aku tiba-tiba mendengar jeritan riang. Aku  terduduk jengah. Ternyata aku hanya mimpi  di siang bolong. Tapi jeritan istri memang benar. Ada uang masuk di ATM-ku  satu juta.

"Hari ini aku ngidam gado-gado," katanya.

"Ngidam?"

"Ya, aku telat hampir dua bulan. Mas ini, bikinnya saja yang ingat, hasilnya tak pernah ditanya." Dia pura-pura merajuk. Aku  teringat anakku  yang bersusun paku. Do, re, mi, pa, sol, la, si, do.

Plg, 03-03-2020

---sekian---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun