"Ah, eh, oh, Nak. Maaf, aku ketiduran." Dia berdiri menatap ke bakul rotan. Tertawa kecil sambil mengatakan aku beruntung. Biasanya sesiang  itu dia sudah leyeh-leyeh di rumah. Tapi kali itu jualannya agak seret.
"Pedes ya, Mbah!" Aku duduk di bangku panjang. Dia gemetar mengambil kacang goreng yang diulek kasar, lalu memasukkannya ke atas penggilingan. Perlahan pula memasukkan bumbu lain, tertunduk-tunduk.Â
Tangan keriput si mbah seperti memiliki mata, Â sangat hapal menggabungkan bahan yang berbeda hingga menjelma sepinggan gado-gado indah menggoda.
Betapa kagum aku kepadanya, sekaligus iba mendera. Perempuan setua dia masih menarung hidup. Harusnya tunas-tunas muda menggantikannya mewarnai dunia. Sedangkan dia tinggal duduk santai sambil memerintah ke sana-ke sini. Â Tubuh rentanya terlalu lelah mencangkul bumi.
Saat menghidangkan sepinggan gado-gado, aku melihat betapa dia kembali tersenyum. Bahkan binar matanya yang lamur, seakan menyapaku ramah.Â
"Nama Mbah, siapa?" tanyaku pada suapan pertama. Lidahku bergoyang menahan pedas dan nikmat.
"Apa? Kurang pedas ya, Nak?" Oh, aku baru tahu pendengarannya mulai berkurang. Salahku terlalu pelan berbicara.
"Bukan. Nama Mbah, siapa?" ulangku. Dia tertawa lirih sambil menyebut namanya; Tini. Perlahan pula  dia bercerita panjang lebar tentang keluarganya. Tubuhnya yang semakin cepat lelah.
Mbah Tini mohon maaf karena usia telah melemahkan daya dengarnya. Tapi tidak dengan mata.
Seakan ingin membuktikan daya lihatnya, dia berkata, "Kamu cukup tampan, Nak!" Aku hampir tersedak malu, buru-buru minum. Lalu mengintip raut si mbah yang girang dari bibir gelas. "Kenapa? Apa aku salah? Hidungmu mancung amat!"
"Nah itu baru benar, Mbah? Aku seperti Pinokio, tapi bukan pembohong. Aku juga tak bohong rasa gado-gado ini selangit," kataku menggoda. Dia membuang pandang. Mungkin jengah sebab rasa gado-gadonya kupuji. "Ngomong-ngomong tak ada yang menggantikan Mbah berjualan gado-gado?"