Seiring dia menyerahkan handuk merah jambu, aku sigap berdiri. Saat itulah Sahat menghentikan langkahku. Sahat tertawa renyah di pintu pagar. Istri manyun, dan masuk ke dalam rumah. Dia kembali lagi dengan secangkir kopi dan sepinggan kecil roti tawar berselai kacang.
"Apa kabar, At?' Kawanku itu menatap istri masuk kembali ke dalam rumah. "Habis ituan, ya?"
Aku mengumpat, "Setan kau! Angin apa yang membawamu ke mari?"
"Kira-kira kau pernah menulis cerpen tidak? Tadi aku lihat tadi di warung kopi Mat Lidang."
Pelan-pelan ingatanku menjalar. "Di koran, ya?"
"Iyalah! Memangnya di toples. Kalau tak salah tentang penjual gado-gado. Di koran Terapas"
Aku teringat Mbah Tini, teringat honor satu juta. Tak ada salahnya kan aku membayarnya lebih untuk gado-gado yang lupa kubayar?
***
"Apa? Pagi begini belum ada kembalian!" Mbah Tini masih asyik mengulek bumbu gado-gado. Wajahnya merengut. Dia melirik sambil mengibaskan tangan. "Harga satunya dua belas ribu. Kasih duit kecil sajalah. Masa' seratus ribu!"
"Biarlah sisanya untuk Mbah Tini." Aku merapat ke dekatnya. Â Aku menggengamkan seluruh honor cerpenku ke tangannya. Dia berhenti mengulek, menatapku tak suka.
Dia tak ingin hidup dari belas kasihan orang lain. Dia hanya mau menjalaninya dengan jerih- payah sendiri. Dia menggengamkan kembali  uang itu ke tanganku.