Dia menetapku seperti kurang senang. Dia berdiri, berjalan pelan menuju etalase. Menyusun seluruh perlengkapan jualan ke rak besar di bawahnya. Lalu sangat hati-hati menata barang pecah-belah.Â
Tangannya mengapung di atas pingganku. Ada tersisa dua sendok makan gado-gado. Dia pun tertawa, karena aku belum selesai bersantap.
Berjualan gado-gado adalah hidupku sejak puluhan tahun lalu. Anak-cucu aku punya. Tapi bila mereka yang berjualan, apa lagi yang dapat kukerjakan? Duduk di rumah? Ah, tidak, tubuhku terasa remuk bila tak bekerja."
"Bukankah bekerja itu yang bisa membuat badan remuk, Mbah?"
"Siapa bilang? Anak muda sekarang memang lain cara berpikirnya. Bekerja itu adalah cara terbaik menikmati hidup. Ah, sudahlah. Aku mau pulang." Dia memanggil becak, lalu menghilang di sebuah lorong sempit beberapa saat kemudian.Â
Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Ha? Iyalah! Gado-gado belum kubayar!
***
Pagi temaram turun diam-diam di halaman depan. Hujan dini hari tadi, menyisakan genangan di beberapa bagian. Â Kendaraaan melintas satu-satu.Â
Istri keluar dari dalam rumah sambil mengucek-ucek rambutnya yang basah dengan handuk merah jambu. Seperti keharusan, selesai mandi besar, dia selalu berhandukkan si merah jambu. Apakah itu pertanda hatinya sedang merah jambu? Dia tersenyum. Sinar matanya seperti tertawa.
Dia bergegas masuk lagi ke dalam rumah, dan kembali dengan segelas kopi-susu serta sepiring kecil roti sumbu. "Sudah mandi, Mas?"Â
"Oh, mandi? Belum!" Aku malu. Dia cemberut. Dia paling sebal kalau setelah anu, aku langsung  beraktivitas tanpa mandi terlebih dulu.Â