Aku masih menunggu di sini. Lampu-lampu mulai menyala. Mendung mengabarkan senja akan hujan. Setelah memata-mataimu sebulan ini, aku yakin kau setia dengan kebiasaan mengelilingi mall setiap Sabtu sore. Mengumpulkan perlengkapan rumah tangga. Mendorong roli ke dekat halte. Kau terlalu percaya bis biru langit itu datang tepat waktu.Â
Padahal ada trailer memelang jalan mengarah ke halte, menghambat bis itu di antrian lebih tiga ratus meter. Inilah kesempatanku. Memepet tubuhmu yang bersandar di dinding halte. Kau menatapku tak senang. Barang-barang itu kau jinjing segera. Mungkin agar cepat menghilang ke dalam bis ketika dia tiba. Atau kau ingin menghindar dariku?
"Ehm!" Perkenalan pertama. Kau menatapku tak senang. "Mau ke mana?" Kau tetap diam. "Namaku Dion." Aku mengulurkan tangan. Kau melengos sambil menyindir bahwa kau tak bertanya siapa namaku. Saat aku katakan hujan akan turun sebentar lagi. Kau kembali mengejek, aku seperti penguasa cuaca yang baru turun dari awan. Kau suka bercanda. Ketika kujentikkan jari, ternyata hujan tiba-tiba turun lebat. Suatu kebetulan yang menguntungkan.
Kau terbelalak takjub. Mungkin kau menebak aku penguasa cuaca yang turun dari awan. Atau kau hanya mengejek barusan itu. Tapi setidaknya kau tersenyum sambil mengulurkan tangan. Namamu lumayan keren; Monika. Aku teringat dulu sering membaca tabloid itu. Kasihan sekali, fenomena digital telah menewaskannya.
Kau juga mengatakan tujuanmu. Berani sekali. Â Bagaimana kalau aku bukan orang baik-baik---katakanlah penjahat--- yang akan mengorek detail alamatmu? Lalu aku mengikutimu. Sesekali kau undang ke rumahmu yang besar. Aku pun mulai menggambar suasana rumahmu. Apakah berada di tempat yang sepi? Apakah akan mudah membongkar dan menggondol hartamu?
Kau pun terkejut ketika mendengar beberapa penumpang  membincangkan tentang trailer melintang itu. Artinya tak akan ada bis biru langit lagi. Jatahnya beroperasi hingga jam enam sore. Sementara lamat terdengar suara Azan Maghrib. Aku menawarkannya shalat dulu. Aku harus bisa mengambil hati seorang perempuan berjilbab. Tapi sebenarnya aku, yah, sudahlah! Langkah terbaik berikutnya. Aku harus kelihatan gentlemen, termasuk urusan ibadah.
Entah kenapa kau setuju. Lori didorongnya menuju penitipan barang. Kita kemudian bergegas menuju masjid. Tak apa-apa masbuq, kataku. Daripada tidak sama sekali, lebih baik terlambat. Kau mengacungkan jempol. Aku merasa di atas angin. Dan hujan mengamini, bergegas reda.
Aku teringat kata-kata mendiang Ayah. Bahwa mulutku ada bisanya. Sekali aku berkata, orang akan terbius. Buktinya, dari sepeda hingga motor, dia kabulkan bila aku yang minta. Pun dari mobil-mobilan sampai mobil benaran. Meski pada saat itu mendiang Ayah hanya bercanda mengatakannya, tapi apakah benar mulutku berbisa? Bahkan untuk menaklukkan perempuan berjilbab itu.
Entah kenapa pula kau mau kuajak makan nasi goreng pinggir jalan. Namun saat Azan Isya kau  tergeragap teringat anak. Kau juga kasihan kepada Mbok Lalah yang harus pulang terlambat ke rumahnya.
Aku setuju nasi goreng itu bernasib na'as tak jadi disantap meski sudah di atas piring. Padahal bukan main lamanya kita menunggunya hingga hadir di atas meja. Tapi nasibnya tidak terlalu apes. Kau meminta si mamang membungkus nasi goreng itu. Hanya saja timbul masalah ketika kita berdiri di pinggir jalan. Kau teringat barang-barang di jasa penitipan. Aku dengan senang hati menemanimu mengambil barang itu. Masalah berikutnya timbul, celingak-celinguk mencari angkutan kota. Pukul segini cari angkutan kota? Hellooo!
Kau sumringah ketika aku mengatakan membawa mobil. Setiba di parkiran, aku melirikmu. Tetap sumringah, kendati mobil yang akhirnya kita naiki cukup memalukan. Sebuah pick up lama dengan bunyi riuh mengalahkan derum mobil itu sendiri. Kita membelah udara Palembang yang berselimut dingin sisa hujan. Pikiranku berkelindan dengan berbagai rencana. Aku hampir tak menyadari suaramu  menyuruh stop. Aku mengerem mendadak.
Kita membelok ke rumah berhalaman lapang. Sebuah bangunan bertingkat dua memayungi kita dari hembusan angin. Pintu depan gedung itu membuka. Seorang anak usia sekitar lima tahun, berjingkrak kesenangan. Dibelakangnya mengekor seorang perempuan gendut dan agak tua. Mungkin dia Mpok Lalah.
Kau bergegas turun ke halaman. Mengambil barang yang bertimbun, dan meletakkannya di teras. Kau sempatkan bertanya, apakah aku mau singgah. Tapi tegas aku menggeleng. Semua harus pelan. Smooth. Tak boleh gegabah. Harus setahap demi setahap. Sekali lagi kau bertanya. Kubalas dengan lambaian dan perlahan menjalankan pick up itu.
****
Bram, Rud, dan Sopantun tersenyum sumringah. Berganti-ganti mereka memperhatikan foto Yang kuberikan. Sebulan aku sudah berkenalan denganmu, jadi tak ada salahnya anak buah tahu sepak terjangku.
"Kapan kita bergerak, Bos?" Sopantun tersenyum cerah.
"Bergerak gundulmu! Perlu proses." Aku menepuk keningnya, kemudian menjelaskan rencanaku. Mereka mengangguk setuju.
Sementara kedekatanku denganmu mulai seperti lem dengan prangko. Kita sering jalan-jalan berdua ke mall. Di hari lain ke kebun binatang atau tepi pantai bersama anakmu. Dan kupikir sudah cukup penjajakannya. Aku sudah tahu kau luar dalam. Bahkan apa yang kau punya.Â
Perkara tak ada lelaki di rumahmu, sudah aku ketahui sebelum kita berkenalan. Â Kau seorang janda yang ditinggal mati suami empat tahun lalu. Seorang perempuan kaya dan hmm.Â
Om Barda yang memberikan fotomu kepadaku. Dia mewanti-wanti agar aku hati-hati. Kukatakan selama ini aku sangat hati-hati terhadap perempuan seperti sedang membawa porselin mahal, hingga sedikit pun tak tergores.
Tiga bulan rasanya sudah cukup. Semua persiapan diatur agar pekerjaannya sukses. Aku tak boleh bersembunyi lagi. Berhari lalu tetap kusembunyikan siapa sebenarnya diriku. Tapi sekarang tidak lagi. Mobil Fortuner hitam metalik itu keluar dari sarang. Bram, Rud, juga Sopantun naik mobil pick up. Seluruh perlengkapan, mereka letakkan rapi di bak belakang.
Perlahan kami menyusuri kota Palembang yang lumayan hangat, meskipun  jam menunjukkan pukul delapan malam. Satu jam lebih kami melewati macet, akhirnya aku mengerem mobil sekitar dua puluh meter dari rumahmu. Tiga anak buahku itu menghentikan mobil pick up di halaman. Perlahan sekali seolah tak memiliki suara.
Bram bersijingkat mendekati pintu. Dia membunyikan bel. Seorang perempuan yang membukanya. Itu kau. Aku pun turun dari mobil. Sesaat kalian berbincang. Rud dan Sopantun membawa sesuatu ke teras. Dan tiba-tiba terdengar ledakan kecil. Kepingan-kepingan menjadi kabut. Aku muncul mengibas kepingan itu.
"Apa-apaan ini, Armand?" Kau antara terkejut dan takjub mendekatiku.
"Seperti yang kukatakan sebelumnya, aku akan merampok."
"Merampok apa?"
"Hatimu! Kau adalah pilihanku setelah selama ini melajang terus. Maksudku aku ingin melamar, dan mengucapkan selamat ulang tahun untukmu." Kau tersipu malu. Dia belum bisa menjawap apa-apa. Sebentuk wajah mungil muncul di ambang pintu. Tio. Kuangkat dia tinggi, calon anakku.
Sapta, 201119
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H