Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - Menebus bait

Karyawan swasta dan penulis. Menulis sejak 1989 sampai sekarang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Ayah Memang Beda

13 November 2019   15:00 Diperbarui: 13 November 2019   15:05 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi : benz.lastri.co

Setamat kuliah,  lalu menikah dengan Hudan setahun kemudian, ternyata ilmu yang kugali selama ini, tak berguna sama sekali. Aku gagal menjadi orang sukses. Terkadang aku risau memikirkan, antara rasa senang bersuamikan top star sineas muda, dan rasa sesal karena gagal mengabdikan ilmu keguruan yang hampir empat tahun kugeluti.

Tetap saja aku menunjukkan rasa bahagia di depan Hudan. Tapi tidak lagi di bulan ke delapan pernikahan kami. Tentu bukan berarti aku bosan kepadanya, dan ingin menuntut cerai. Sama sekali tak ada terlintas itu di kepalaku. Aku hanya ingin diam-diam ingin melamar pekerjaan. Hatiku terasa terkungkung. Hari-hari tinggal sendirian di rumah karena tak ada kegiatan. Maka itu aku ingin bertukar-pikiran dengan Ayah. Aku nekad menempuh perjalanan udara sekian jam, dan jalur darat hampir delapan jam, demi bertemu dia.

Saat berada di halaman rumah, aku terpana. Tubuhku seakan lesap terhisap mesin waktu. Aku melihat Ayah yang gagah membawa perlengkapan menyadap aren menuju hutan. Aku juga melihat dia sibuk mengerjakan urusan rumah tanpa canggung. Dia Ayah yang beda. Dia badakku yang hampir tak kenal cuaca selalu bekerja. Dia juga angsaku yang anggun, juga telaten merawat anak-anaknya.

Tapi sekarang dia hanya lelaki renta yang sehari-harinya memakai kruk karena  lumpuh sebelah. Matanya nanar menatap bukit yang semakin gundul. Saat itulah aku tersentak mendapat pelukan dari adik. Ayah tetiba tegak, tertatih dengan kruk menjangkau bahuku. Dia membiarkan tangis rinduku tumpah di bahunya yang ringkih. Uban Ayah mulai menyemak.

Pukul delapan malam, saat adik belum pulang, kami menyantap bulan sabit di teras. Gerah sedikit menerbitkan keringat. Cukup bagiku memuas rindu. Tiba pula aku bertukar pikiran dengan Ayah yang seketika tersentak.

"Apa? Kau ingin bekerja?" Urat lehernya menegang. Aku mengangguk ragu. "Apakah kau sudah minta ijin kepada Hudan?" Aku menggeleng. Ayah menghisap sigaret dalam-dalam. Saat terbatuk, dia langsung membenamkan sigaret itu ke dalam aspak. Dia menghela  napas yang berat.

"Aku merasa sayang dengan pelajaran yang hampir empat tahun kugeluti. Percuma aku sarjana pendidikan, tapi tak menjadi guru. Aku bukan orang yang sukses seperti keinginan Ayah." Aku tertunduk.

"Niar. Jangan pernah kau berpikir seorang perempuan itu dibilang sukses, kalau dia sudah berhasil menaklukkan dunia luar, tapi gagal menaklukkan dunia dalam. Maksud Ayah keluarga. Pendidikan yang kau geluti tak mesti digunakan mendidik orang luar. Kelak kau akan memiliki anak. Anak itu yang kau didik dengan cara  berpikir seorang sarjana. Bila kau bisa memoles anak hingga sekemilau permata, itulah kesuksesan seorang perempuan. Kesuksesan yang belum bisa dicapai para ayah di luar sana."

"Tidak termasuk Ayah, kan?"

"Jelas termasuk." Dia terdiam. "Terkadang Ayah bingung bagaimana membentukmu menjadi perempuan yang menarik. Kecuali setelah di kota, kau bisa membuat dirimu menarik." Dia tertawa. Aku tersenyum. Teringat aku si tomboy yang hari-harinya lebih suka memakai kaos dan celana jins.

"Jadi, aku tak boleh bekerja, Yah?" Aku cemberut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun