Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - Menebus bait

Karyawan swasta dan penulis. Menulis sejak 1989 sampai sekarang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Ayah Memang Beda

13 November 2019   15:00 Diperbarui: 13 November 2019   15:05 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi : benz.lastri.co

Ayah memang beda. Tubuhnya tinggi besar dan berotot. Kulitnya coklat gelap. Pagi-pagi dia berangkat ke hutan. Dia penyadap aren yang tangguh, dan berkulit badak. Terkadang ketika malam tiba, Ayah memintaku memijit bahunya. Aku merasa sedang mengurut besi. Terbit pun keringatku sebesar jagung, dia masih mengatakan tetap tak terasa.

Setiap Sabtu, Ayah berjualan aren di pasar kalangan. Dari situlah penghidupan kami sekeluarga. Juga ditopang kebun karet---diselang-selingi kacang--- di belakang rumah.

Ayah memang beda. Tak jarang dia menjelma perempuan cantik. Pagi sekali dia sudah hilir-mudik di dapur. Macam-macam yang dia masak. Rasanya pastilah enak. Pantangan baginya jika aku dan adik kelaparan. Terlebih aku perlu nutrisi, agar mudah menangkap pelajaran di sekolah. Meskipun aku perempuan, Ayah ingin aku menjadi orang sukses.

Ayah yang mengurus seluruh pekerjaan rumah setelah ditinggal mati Ibu. Mulai dari urusan mencuci, memandikan adik, hingga menisik pakaian anaknya yang koyak. Belum lagi membereskan atap yang bocor. Kecuali menyapu rumah, dia serahkan kepadaku. Dia tak ingin sekolahku terganggu bila terlalu banyak mengurusi pekerjaan rumah.  Urusan tetek-bengek, biarlah dia yang urus.

Di situlah mengapa aku seringkali sedih. Ayah jadi jarang bergaul ke tetangga. Dia tak pernah bertandang ke warung kopi. Sementara ayah orang lain, bertahan di sana sepulang berladang hingga tengah malam. Hanya shalat dan makan yang membuat mereka jeda.

Maka itu aku pernah mengusulkan agar dia mencari ibu baru seperti ayah si Saf. Istri ayah si Saf saja baru meninggal dua bulan. Sekarang dia sudah menikah lagi dengan perempuan yang sangat muda. Sedangkan ibuku sudah meninggal tiga tahun lampau. Tapi Ayah seakan fobia istri baru. Dia tetap bertahan menjadi orangtua tunggal. Baginya untuk apa dia menikah lagi, jika hanya akan menyengsarakan kami? Benar, ibu baru akan menyayangi Ayah. Bagaimana dengan kami anak-anaknya?

Hingga usiaku tujuh belas tahun, Ayah bertahan seorangan. Tubuhnya yang dulu gagah, perlahan layu. Perlahan pula ditinggalkannya usaha gula aren. Dia hanya fokus bertanam-tanaman di kebun belakang rumah. Akan hal karet, telah lama dipapasnya habis karena sudah terlalu tua.

Saking kasihan kepada Ayah, berkali-kali aku membawa foto perempuan ke rumah. Kata Ayah, mereka semua dia kenal. Dia tak ingin menikah lagi. Terakhir kali aku membawa foto perempuan dari kota. Ayah belum kenal dia. Ayah tertegun karena perempuan di dalam foto itu cukup menarik. Aku yakin Ayah goyah. Tapi lagi-lagi aku harus siap mengelus dada. Perempuan itu mirip boneka. Ayah tak suka.

Selain karena bosan merayu Ayah, pun aku harus melanjutkan kuliah ke kota, aku tak lagi berhasrat membincangkan calon istri untuknya. Tugas merayu kuserahkan kepada adik. Aku kemudian fokus mengurusi kuliah. Juga sambil kerja menjadi pembantu rumah tangga. Agak memalukan. Tapi merawat malu sama saja aku akan kehilangan waktu yang bisa dijadikan uang.

Sesekali aku menelepon adik. Hasil yang kudapat cukup mengecewakan. Terkadang  Ayah ogah makan karena kesal dirayu terus oleh adik. Sekali waktu dia puasa bicara. Aku menjadi ngeri jika Ayah nekad. Bisa saja sepulang dari sekolah, adik mendapati kaki Ayah mengapung di ambang pintu. Lehernya berada di buhul tali, dengan lidah  terjulur. Akankah Ayah senekad itu hanya untuk urusan perempuan? Sepertinya tak mungkin. Aku kelewat parno. Tapi bagaimana jika ketakutanku berakhir nyata? Tak ingin menyesal di kemudian di hari, aku bersepakat dengan adik, berhenti menyinggung masalah ibu baru dengan Ayah, sampai kapan pun. Tentu agar Ayah tak risau.

***

Setamat kuliah,  lalu menikah dengan Hudan setahun kemudian, ternyata ilmu yang kugali selama ini, tak berguna sama sekali. Aku gagal menjadi orang sukses. Terkadang aku risau memikirkan, antara rasa senang bersuamikan top star sineas muda, dan rasa sesal karena gagal mengabdikan ilmu keguruan yang hampir empat tahun kugeluti.

Tetap saja aku menunjukkan rasa bahagia di depan Hudan. Tapi tidak lagi di bulan ke delapan pernikahan kami. Tentu bukan berarti aku bosan kepadanya, dan ingin menuntut cerai. Sama sekali tak ada terlintas itu di kepalaku. Aku hanya ingin diam-diam ingin melamar pekerjaan. Hatiku terasa terkungkung. Hari-hari tinggal sendirian di rumah karena tak ada kegiatan. Maka itu aku ingin bertukar-pikiran dengan Ayah. Aku nekad menempuh perjalanan udara sekian jam, dan jalur darat hampir delapan jam, demi bertemu dia.

Saat berada di halaman rumah, aku terpana. Tubuhku seakan lesap terhisap mesin waktu. Aku melihat Ayah yang gagah membawa perlengkapan menyadap aren menuju hutan. Aku juga melihat dia sibuk mengerjakan urusan rumah tanpa canggung. Dia Ayah yang beda. Dia badakku yang hampir tak kenal cuaca selalu bekerja. Dia juga angsaku yang anggun, juga telaten merawat anak-anaknya.

Tapi sekarang dia hanya lelaki renta yang sehari-harinya memakai kruk karena  lumpuh sebelah. Matanya nanar menatap bukit yang semakin gundul. Saat itulah aku tersentak mendapat pelukan dari adik. Ayah tetiba tegak, tertatih dengan kruk menjangkau bahuku. Dia membiarkan tangis rinduku tumpah di bahunya yang ringkih. Uban Ayah mulai menyemak.

Pukul delapan malam, saat adik belum pulang, kami menyantap bulan sabit di teras. Gerah sedikit menerbitkan keringat. Cukup bagiku memuas rindu. Tiba pula aku bertukar pikiran dengan Ayah yang seketika tersentak.

"Apa? Kau ingin bekerja?" Urat lehernya menegang. Aku mengangguk ragu. "Apakah kau sudah minta ijin kepada Hudan?" Aku menggeleng. Ayah menghisap sigaret dalam-dalam. Saat terbatuk, dia langsung membenamkan sigaret itu ke dalam aspak. Dia menghela  napas yang berat.

"Aku merasa sayang dengan pelajaran yang hampir empat tahun kugeluti. Percuma aku sarjana pendidikan, tapi tak menjadi guru. Aku bukan orang yang sukses seperti keinginan Ayah." Aku tertunduk.

"Niar. Jangan pernah kau berpikir seorang perempuan itu dibilang sukses, kalau dia sudah berhasil menaklukkan dunia luar, tapi gagal menaklukkan dunia dalam. Maksud Ayah keluarga. Pendidikan yang kau geluti tak mesti digunakan mendidik orang luar. Kelak kau akan memiliki anak. Anak itu yang kau didik dengan cara  berpikir seorang sarjana. Bila kau bisa memoles anak hingga sekemilau permata, itulah kesuksesan seorang perempuan. Kesuksesan yang belum bisa dicapai para ayah di luar sana."

"Tidak termasuk Ayah, kan?"

"Jelas termasuk." Dia terdiam. "Terkadang Ayah bingung bagaimana membentukmu menjadi perempuan yang menarik. Kecuali setelah di kota, kau bisa membuat dirimu menarik." Dia tertawa. Aku tersenyum. Teringat aku si tomboy yang hari-harinya lebih suka memakai kaos dan celana jins.

"Jadi, aku tak boleh bekerja, Yah?" Aku cemberut.

"Apakah kau kurang pangan?" Tegas aku menggeleng. "Kurang sandang?" Lagi-lagi aku menggeleng. "Jadi untuk apa kau bekerja di luar rumah, jika semua sudah tercukupi?" Dia menggaruk-garuk hidung. "Memang tak masalah bila sekarang kau bekerja saat belum punya anak.  Tapi jika mereka sudah ada, bagaimana?"

"Aku bekerja jadi seorang guru, dan pekerjaan itu tak terlalu memusingkan. Maksudku pekerjaan itu tidak terlalu menyita waktu."   

Ayah terdiam. Dia mengalihkan pembicaraan dengan yang asyik-asyik. Tapi saat aku terbaring di kasur, aku mulai berpikir, apakah yang diucapkan Ayah adalah cerminan hatinya? Sekian tahun dia bertugas seorangan, ya menjadi sosok ayah, sekaligus sosok ibu. Bisa saja dia tak ingin orang lain merasakan yang serupa, memiliki istri, tapi seolah tak ada. 

Saya kemudian masuk ke kamar Ayah. Dia tertidur sambil tersenyum. Ayah memang beda. Kukecup keningnya dengan sayang. Besok pagi-pagi benar, aku menyambutnya dengan hidangan menggoda.

Sapta, 131119

---sekian---

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun