"Apakah kau kurang pangan?" Tegas aku menggeleng. "Kurang sandang?" Lagi-lagi aku menggeleng. "Jadi untuk apa kau bekerja di luar rumah, jika semua sudah tercukupi?" Dia menggaruk-garuk hidung. "Memang tak masalah bila sekarang kau bekerja saat belum punya anak. Â Tapi jika mereka sudah ada, bagaimana?"
"Aku bekerja jadi seorang guru, dan pekerjaan itu tak terlalu memusingkan. Maksudku pekerjaan itu tidak terlalu menyita waktu." Â Â
Ayah terdiam. Dia mengalihkan pembicaraan dengan yang asyik-asyik. Tapi saat aku terbaring di kasur, aku mulai berpikir, apakah yang diucapkan Ayah adalah cerminan hatinya? Sekian tahun dia bertugas seorangan, ya menjadi sosok ayah, sekaligus sosok ibu. Bisa saja dia tak ingin orang lain merasakan yang serupa, memiliki istri, tapi seolah tak ada.Â
Saya kemudian masuk ke kamar Ayah. Dia tertidur sambil tersenyum. Ayah memang beda. Kukecup keningnya dengan sayang. Besok pagi-pagi benar, aku menyambutnya dengan hidangan menggoda.
Sapta, 131119
---sekian---
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI