Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - Menebus bait

Karyawan swasta dan penulis. Menulis sejak 1989 sampai sekarang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta di Lengkung Kafe

6 November 2019   14:00 Diperbarui: 6 November 2019   14:08 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: pixabay

Awal Nopember. Kau berlari menghindari hujan yang tetiba menderas. Anak-anak turun ke jalan meneriakkan suka cita. Memercikkan air ke tubuhmu dengan sengaja. Kau menjerit setengah marah. Tumit sepatu tinggimu patah. Kau terpincang-pincang menjangkau teras Lengkung Kafe. Terdengar umpatanmu, tapi berakhir tawa. Perempuan di sebelahmu---mungkin temanmu---mencoba menyabarkan. Kalian pun terpingkal, sehingga hilang kharisma perempuan kelas atas yang kalian jaga.

Aku suka itu! Orang memang rata-rata senang hujan, meski hati sedang kesal. Apalagi bagi seorang barista. Hujan membuat pelanggannya bertambah dua kali lipat, karena ingin menyesap secangkir arabica yang lengket di lidah.

Anak-anak itu semakin histeris menarikan request hujan deras. Jalan dijadikan lapangan bola darurat.  Klakson menyalak memekakkan telinga. Mereka  tak hiraukan. Mobil dan motor akhirnya  menghindar, menyisakan klakson melengking.

"Hai, Baron. Pesan yang biasa ya. Dua cangkir espresso. Antarkan ke meja sudut, seperti biasa." Mungkin baterai Mita baru dicas. Suaranya bersemangat nian. Namun perempuan kuyup di belakangnya---dengan langkah terpincang---sungguh merampok perhatianku. Mita selalu berhasil membawa teman yang menarik hati.

Mita mencondongkan wajahnya. "Oh, ya. Dia temanku. Kenalkan, namanya Loli." Dia seakan lambat menyadarinya.

"Seperti nama permen, ya?" Aku menyalami Loli, yang tergelak karena Mita menghadiahiku cubitan.

Dia tetiba meralat pesanan Mita. Mungkin secangkir teh manis lebih menghangatkan suasana ketimbang kopi. Agak ganjil pesanan itu diarahkan kepada barista yang terbiasa meramu kopi. Tapi pembeli adalah raja.

Aku tetap mengiyakan, lalu menghidangkan pesanan mereka seperempat jam kemudian. Mita tertawa menahan geli. Meminta teh kok kepada barista. "Tak apa. Tak ada yang salah dengan penyuka teh." Aku membela Loli.

Aku pun bergabung bersama mereka. Dari sekarang hingga Lengkung Kafe tutup, aku pastikan aku akan bebas tugas. Hanya pelanggan gila yang masih nekad melintasi hujan membadai demi secangkir kopi

Aku  suka---mungkin ini namanya cinta--kepada Loli. Selain menarik hati dengan gayanya yang simpel, dia ternyata seorang novelis yang amat kukagumi. Dia bernama samaran Sambas. Dalam bayanganku selama ini, dia  adalah seorang lelaki botak dan sudah tua. Ternyata dia masih amat muda, perempuan lagi.

Kami kemudian berbincang serius tentang dunia tulis-menulis. Di jujur, barusan itu dia baru pulang lounching novel terbarunya di sebuah hotel berbintang. Dia mengeluhkan kenapa panitia louncing begitu ngotot menyuruhnya berpakaian sangat resmi. Itu membuat tubuhnya risih. Seolah dia tersesat dalam dunia asing.

Terlalu sibuk bercerita, hingga tak menyadari ada Mita di antara kami. Perempuan itu hanya terbengong  melihat kami seolah lupa sekitar.

Sekitar pukul lima sore mereka pun pulang. Kupastikan Loli akan datang lain waktu, bersama atau tanpa Mita.

Begitu cepatnya aku jatuh cinta. Aku yakin dia adalah jodohku. Namun apakah seorang barista dan novelis akan berujung harmonis? Mekipun hobi kami sama--penyuka novel---sepertinya tak ada korelasi barista dengan novelis.

***

Benar saja, Loli semakin sering bertandang ke Lengkung Kafe. Hampir setiap kunjungannya selalu tanpa Mita. Aku diam-diam menyimpan rapat-rapat cinta ini. Seorang barisa tak hanya telaten meramu kopi, juga telaten mengulen cinta. Itulah prinsipku dari dulu, tak ingin grasa-grusu kalau akhirnya sangat tak memuaskan.

Pertama-tama, aku harus mengajaknya berkunjung ke rumahku. Seolah tester makanan, Ibu pasti bisa menebak apakah Loli perempuan yang terpilih memasuki kuali keluarga Sutoro. Bibit, bebet dan bobotnya bagaimana? Bagaimana pun aku sangat sayang kepada Ibu. Aku ingin setiap yang kusenangi, juga akan disenanginya. Kedua, saat Ibu telah memberi lampu hijau, barulah aku berani mengatakan rasa cinta. Ketika, brak!!! Aku tersentak. Romuluz telah duduk di hadapanku dengan wajah seperti udang rebus. Aku kembali pura-pura disibukkan menghitung nota penjualan seminggu ini. Padahal pikiranku tak dapat didustai, hanya wajah Loli yang melayang-layang di situ.

"Boleh aku duduk?"

"Apa pernah aku melarangmu?" Aku tak tahu masalah Romuluz denganku. Ini bukan kebiasaannya. Dia terbiasa selalu datang dengan senyum lebar, dan langsung memesan kopi latte. Dia akan mengambil tempat di tempat Mita biasa duduk. Terkadang bila senggang, aku menemaninya sekadar berbicara ngalor-ngidul.  Tak ada perbincangan yang amat serius, apalagi membuat riak wajah kami tak sedap dipandang mata.

"Kau kenal Mita, kan?" Dia bertanya sambil mengucek rambutya.

Aku menjawab bahwa perempuan itu kawan kami sejak SMP. "Tahukah kamu apa isi hatinya?" lanjutnya. Aku menggeleng. Aku tak pernah tahu dan tak berkeinginan mengorek isi  hati Mita. Kami sudah menjadi sahabat akrab sejak beberapa tahun lalu. Apa yang ada di hati Mita, dan apa yang ada di hatiku, sama-sama kami tahu, seperti ruangan tanpa perabotan. Bersih, tak ada yang perlu disembunyikan. Hingga ketika Romuluz mengatakan bahwa Mita sepupunya, aku menjawab dengan tertawa.

"Dari dulu aku sudah tahu. Tak perlu kau ceritakan lagi."

"Apakah kau tahu apa isi hatinya?"

"Barusan kau tanya itu. Aku kira di antara kami tak ada yang rahasia-rahasiaan."

"Juga rasa sukanya kepadamu?" Pertanyaan Romuluz tepat menghantam ulu hatiku. Aku terhenyak. Bayang-bayang Mita seketika melintas.  Selama ini hampir setiap sore dia hadir di Lengkung Kafe, terkadang hanya untuk menyesap secangkir espreesso. Tapi lebih sering membawanku oleh-oleh. Dia juga kerap ke rumahku, membantu Ibu memasak pindang. Kata Ibu pindang buatan Mita itu jempolan. Aku ingat sekali waktu Ibu pernah bercanda, Mita cocok kujadikan istri. Saat itu wajah Mita seperti terbakar. Ada rasa malu yang sangat membuar dari matanya. Mata itu? Bukankah selama ini aku kurang memerhatikan tanda di mata itu?

"Dia suka kepadamu, Anton!"

"Ah, masa'!"

"Dan mungkin karena patah hati dia menerima dimutasi menjadi dokter di sebuah dusun?"

"Apa?" Aku mulai mendapat jawaban. Memang hampir sebulan ini Mita tak pernah berkunjung ke Lengkung Kafe. Tapi aku kurang peduli. Karena hampir setiap hari selalu ada gula-gula yang memaniskan kafe. Dia adalah Loli.

"Dia kecewa karena kau seperti jatuh hati kepada Loli," lanjut Romuluz. "Kau memang jatuh hati kepada Loli, kan?"

"Baru penjajakan," kataku seakan tak berdosa. "Tapi aku merasa bersalah tak cepat tanggap selama ini."

"Kalau saja kau bukan sahabatku, mungkin... Ah, sudahlah!" Romulus keluar dari kafe. Aku kembali disibukkan lembar nota penjualan. Saat itulah Loli datang menyejukkan hatiku. Dia menyerahkan sebundel berkas. Aku membaca sebuah kata di bagian cover; Barista.

"Terima kasih," katanya.

"Untuk apa?"

"Untuk ceritamu yang mengimajinasiku merampung novel berjudul; Barista. Saat ini aku akan mengajukannya ke penebit."

Aku ternganga. Apalagi ketika seorang pemuda gagah masuk ke Lengkung Kafe, aku bertambah ternganga. "Kenalkan, ini namanya Bram. Seorang novelis juga. Dia kawan lamaku, tapi sekarang telah menjadi sahabat dekatku. Nanti malam kami akan merayakan hari jadi kami di sini. Boleh, kan?" Tetiba aku merasa kaku.

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun