"Apakah kau tahu apa isi hatinya?"
"Barusan kau tanya itu. Aku kira di antara kami tak ada yang rahasia-rahasiaan."
"Juga rasa sukanya kepadamu?" Pertanyaan Romuluz tepat menghantam ulu hatiku. Aku terhenyak. Bayang-bayang Mita seketika melintas. Â Selama ini hampir setiap sore dia hadir di Lengkung Kafe, terkadang hanya untuk menyesap secangkir espreesso. Tapi lebih sering membawanku oleh-oleh. Dia juga kerap ke rumahku, membantu Ibu memasak pindang. Kata Ibu pindang buatan Mita itu jempolan. Aku ingat sekali waktu Ibu pernah bercanda, Mita cocok kujadikan istri. Saat itu wajah Mita seperti terbakar. Ada rasa malu yang sangat membuar dari matanya. Mata itu? Bukankah selama ini aku kurang memerhatikan tanda di mata itu?
"Dia suka kepadamu, Anton!"
"Ah, masa'!"
"Dan mungkin karena patah hati dia menerima dimutasi menjadi dokter di sebuah dusun?"
"Apa?" Aku mulai mendapat jawaban. Memang hampir sebulan ini Mita tak pernah berkunjung ke Lengkung Kafe. Tapi aku kurang peduli. Karena hampir setiap hari selalu ada gula-gula yang memaniskan kafe. Dia adalah Loli.
"Dia kecewa karena kau seperti jatuh hati kepada Loli," lanjut Romuluz. "Kau memang jatuh hati kepada Loli, kan?"
"Baru penjajakan," kataku seakan tak berdosa. "Tapi aku merasa bersalah tak cepat tanggap selama ini."
"Kalau saja kau bukan sahabatku, mungkin... Ah, sudahlah!" Romulus keluar dari kafe. Aku kembali disibukkan lembar nota penjualan. Saat itulah Loli datang menyejukkan hatiku. Dia menyerahkan sebundel berkas. Aku membaca sebuah kata di bagian cover; Barista.
"Terima kasih," katanya.