Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - Menebus bait

Karyawan swasta dan penulis. Menulis sejak 1989 sampai sekarang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cara Terbaik untuk Hidup

3 November 2019   09:32 Diperbarui: 9 Desember 2019   11:52 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Pertama, dia bermaksud bunuh diri dengan menembakkan peluru ke kepalanya. Tapi dia tak jadi memilih cara itu. Bunuh diri dengan cara menembak kepala bukanlah seni mati  perfeksionis. 

Kedua, dia juga tak ingin minum racun, karena kelasnya tak akan lebih tinggi dari seekor tikus got. Rata-rata yang diracun itu adalah tikus. Akhirnya dia menemukan cara bunuh diri yang perfeksionis. Yakni menggantung diri. Menggantung diri di mana?

Menggantung diri di kayu ventilasi pintu. Hmm, sepertinya kurang bagus. Kayu ventilasi di rumahnya, selain banyak lapuk, juga agak tipis. Betapa malunya ketika dia gantung diri, tapi kayu itu patah. Mati tidak, tapi sekarat iya. Itu bukan cara yang baik, hanya mempermalukan diri sendiri.

Saat dia jalan-jalan pagi di taman kota, tiba-tiba biji kina melayang-layang dan hinggap di keningnya. Dia terpaku, bukankah pohon mahoni itu sangat perfek untuk dijadikan tempat bunuh diri? Ya, dia melihat ada bangku di bawah pohon itu. Ada pula sebatang dahan di atas bangku--- berjarak sekitar dua meter dari permukaan tanah. Hmm, cocok sekali. Apalagi tinggi badan Dimitri sekitar seratus enam puluh lima centimeter.

Dia pikir itu cara terbaik untuk bunuh diri, plus perfeksionis. Dia memang orang kesepian, tapi kematiannya begitu mewah. Orang-orang akan heboh menemukan seorang mantan pengacara jempolan mati bunuh diri. 

Ratusan blitz kamera mewarnai  hari yang cerah. Seluruh kota akan membicarakan kematiannya  sampai berhari, bahkan berbulan. Omzet penerbitan meningkat. Hmm, cara mati yang meriah.

Maka dia mengobrak-abrik gudang mencari tambang. Dia hanya menemukan seutas seling. Tentu saja seling itu menyakitkan menjerat leher. 

Akhirnya dia bertandang ke rumah Arnold, si nakhoda kapal. Lelaki bertampang seram itu bertanya macam-macam. Tapi akhirnya dia memberikan seutas tambang bekas berukuran sekitar dua meter.

***

"Perfeksionis!" jerit Dimitri di balkon rumahnya, setelah dia menyembunyikan tambang itu di bawah dipan.

Besok paginya Dimitri terlambat bangun. Dia kelabakan melihat jam dinding menunjukkan hampir jam tujuh. Masih memakai piyama, dia buru-buru memasukkan tambang ke dalam karung plastik, lalu mengendap-endap menuju taman kota. Suasana di sana sepi. Ini menguntungkan rencana Dimitri. Sebentar dia melepaskan lelah di bangku taman. Napasnya masih ngos-ngosan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun