Saat itulah aku melihatnya.
Di antara pepohonan, aku melihat bayangan hitam. Ia berdiri diam, tidak bergerak, tapi aku tahu dia sedang memperhatikanku. Sepasang mata merah menyala seperti bara api menatapku dari kegelapan. Aku tertegun, tidak bisa bergerak. Bayangan itu tidak mendekat, tapi kehadirannya begitu nyata, begitu kuat, hingga aku merasa seperti ditelan oleh kegelapan.
Tangisan itu semakin keras, menyayat telinga, seolah ingin menyampaikan sesuatu yang aku tidak mengerti. Aku hanya bisa berdiri di sana, membeku oleh ketakutan.
“Ayo cepat!” Ayah menarik tanganku, membawaku kembali ke jalan. Kami terus berjalan tanpa henti hingga akhirnya sampai di rumah. Tapi suara tangisan itu, bau busuk dan melati, rasa dingin dan panas, serta tatapan mata merah itu—semuanya masih membekas di pikiranku.
Ibuku menggenggam tanganku erat, seolah tahu ada sesuatu yang tak biasa di sekitar. Desa kami dikelilingi kebun kosong, pohon-pohon tua dengan batang yang melengkung seperti punggung orang tua, serta bangunan-bangunan sederhana yang tampak lusuh di bawah cahaya bulan. Tidak ada kendaraan lain di sekitar, hanya angin malam yang dingin menusuk kulit dan menciptakan bisikan halus di antara dedaunan.
Ketika sebuah kendaraan tua melintas, lampunya yang remang menyinari jalan berbatu yang kami lewati. Cahaya itu menciptakan bayangan aneh di sekitar kami—batang pohon terlihat seperti sosok tinggi yang berdiri tegak, dan ilalang di kejauhan tampak seperti tangan yang bergerak pelan. Aku memalingkan pandangan dari jalan, dan di situlah aku melihatnya.
Kastil itu.
Di kejauhan, berdiri megah dan gelap. Gerbangnya tinggi menjulang dengan lengkungan yang menyerupai mulut raksasa, siap melahap siapa saja yang mendekat. Dinding kastil tampak hitam pekat, seperti menyerap cahaya bulan yang lemah. Puncak-puncaknya tajam, menusuk langit yang sudah gelap. Aku mengerjap beberapa kali, mencoba memastikan pandanganku, tetapi kastil itu tidak menghilang. Semakin aku menatapnya, semakin nyata ia terlihat.
Yang membuatku semakin terpaku adalah apa yang ada di dalam kastil itu. Sebuah kapal besar, begitu besar hingga mustahil bisa berada di dalam sebuah bangunan. Kapal itu menyerupai kapal Cheng Ho, dengan tiang-tiang tinggi dan layar-layar besar yang seolah terbentang meskipun tidak ada angin. Tapi kapal ini berbeda. Kapal ini hitam kelam, setiap detailnya terlihat seperti bayangan yang membeku di tengah kegelapan.
Aku merasa ada sesuatu dari kapal itu yang memanggilku. Bukan dengan suara, tapi dengan kehadirannya yang begitu kuat. Rasanya seperti kapal itu menyadari keberadaanku, seperti ia tahu bahwa aku melihatnya. Jantungku berdegup kencang, bukan hanya karena takut, tetapi juga karena rasa penasaran yang tak bisa aku abaikan.
“Jangan bengong, ayo jalan terus,” suara ibuku memecah lamunanku. Tangannya yang menggenggamku semakin erat, seolah dia tahu ada sesuatu yang menarikku menjauh darinya. Aku mengalihkan pandangan dari kastil dan kapal itu, tapi detik itu juga aku melihat sesuatu yang lain.