Dusun ini sangat terpencil. Listrik pun baru menjangkau beberapa rumah, dan jalan-jalan di sana lebih sering berupa tanah dan bebatuan daripada aspal. Di sekeliling, kebun-kebun kosong yang lebat dan gelap membentang, memisahkan rumah-rumah satu sama lain. Malam di dusun terasa begitu sunyi dan kelam, hanya diterangi lampu minyak atau bulan purnama yang malu-malu mengintip di balik awan.
Malam itu, kami sekeluarga pergi ke wartel. Ayah ingin menelpon keluarganya di Jakarta, sekadar menyampaikan kabar setelah sekian lama kami tak bertemu. Wartel terletak di desa sebelah, cukup jauh dari rumah kami. Tidak ada kendaraan yang bisa digunakan, jadi kami berjalan kaki menyusuri jalan setapak yang melintasi kebun-kebun kosong. Aku, adikku, dan kedua orang tuaku berjalan beriringan, ditemani hanya oleh suara langkah kaki kami dan deru angin malam yang dingin menusuk kulit.
Setelah tiba di wartel kami berempat bergantian menyapa nenek dan kakekku di kejauhan sana , selesai menelpon kami segera pulang , bada isya kami rasa cukup untuk kami ada diluar rumah dengan jarak tempuh 40 menit dari wartel kerumah . Saat itu terasa sudah begitu larut malam, dan udara semakin dingin. Bulan purnama menggantung di langit, cahayanya membantu kami melihat jalan di tengah gelapnya malam. Kami berjalan beriringan, bercakap-cakap ringan untuk mengusir rasa sepi. Tapi entah mengapa, perasaan aneh mulai menyelimuti diriku. Ada sesuatu yang tidak beres, meski aku tidak tahu apa.
Malam itu, ketika kami berjalan pulang dari wartel, suasana terasa begitu mencekam. Angin malam bertiup pelan, membawa aroma tanah basah dan daun kering. Di kejauhan, gemerisik pepohonan saling bersahutan, seolah-olah mereka sedang berbisik tentang sesuatu yang tidak ingin kami dengar. Gelap menyelimuti desa, hanya diterangi oleh sinar bulan pucat yang memantulkan bayangan panjang pepohonan di sepanjang jalan setapak. Malam itu terasa seperti tak berujung. Desa tempat kami tinggal begitu sunyi, hanya suara langkah kami yang memecah keheningan. Kami baru saja selesai menelpon keluarga dari sebuah wartel kecil, menyampaikan kabar setelah berbulan-bulan terputus komunikasi. Wartel itu satu-satunya jendela kami ke dunia luar, dan kini kami harus menempuh jalan gelap kembali ke rumah.
Saat kami melangkah, sebuah kendaraan tua lewat di depan kami, rodanya menggeretakkan kerikil di jalan tanah. Lampu depannya memantulkan cahaya di sekitar, membuat bayangan bergerak-gerak seperti sosok yang hidup. Ketika kendaraan itu berlalu, ibuku tiba-tiba memegang lenganku dengan erat. “Jangan bengong,” katanya pelan, hampir seperti bisikan. Nada suaranya tegang, seolah ia tahu sesuatu yang tidak aku ketahui.
Tapi aku tidak bisa mengalihkan pandanganku. Di depan kami, di kejauhan, aku melihat sebuah bangunan besar yang tidak biasa. Bentuknya seperti kastil, dengan gerbang menjulang tinggi yang dihiasi lengkungan megah. Bangunan itu berdiri di tengah kegelapan, tampak begitu nyata, tetapi sekaligus seperti bayangan yang kabur. Rasanya seperti sedang menyambut, memanggilku untuk mendekat.
Aku menoleh ke keluargaku, ingin memastikan mereka juga melihatnya. Tapi tidak ada satu pun dari mereka yang tampak memperhatikan. Mereka terus berjalan seperti biasa, seolah-olah bangunan itu tidak pernah ada. Dadaku terasa sesak, seperti ada sesuatu yang menekan paru-paruku. Aku ingin berbicara, tetapi kata-kata tersangkut di tenggorokanku.
Aku teringat akan hidupku sebelumnya di Jakarta—sebuah kota besar yang penuh dengan suara, cahaya, dan kehidupan. Tapi sejak kepindahan kami ke dusun ini, semuanya terasa berbeda. Desa ini begitu sunyi, hampir seperti waktu berhenti di sini. Rumah-rumahnya berdiri berjauhan, dikelilingi oleh kebun-kebun kosong yang tampak seperti labirin tanpa ujung.
Di sepanjang jalan pulang, kami melewati surau kecil dengan dinding bambu yang sudah lapuk. Lampu minyak di dalamnya berkedip-kedip, menciptakan bayangan yang bergerak-gerak seperti sosok sedang berdansa di dinding. Tidak ada suara azan, hanya kesunyian yang begitu dalam hingga aku bisa mendengar detak jantungku sendiri.
Rumah-rumah yang kami lewati hanya diterangi lampu redup dari dalam. Bayangan penghuni rumah tampak samar di balik tirai, tetapi tidak ada suara tawa atau percakapan. Seolah-olah semua orang di desa ini memilih diam, berbicara hanya ketika benar-benar perlu.
Kebun-kebun kosong di sekeliling jalan terasa seperti jurang gelap yang mengintip balik kegelapan. Pohon-pohon besar menjulang tinggi, cabang-cabangnya melintang seperti tangan yang ingin meraih kami. Aku mencoba mengalihkan pikiranku, tetapi suara gemerisik dedaunan seperti bisikan yang tak henti-henti.