Pathok Pethuk: Kisah Perjalanan Batin di Antara Keyakinan dan Tradisi
Sebagai seorang yang tumbuh dalam persimpangan keyakinan dan tradisi, saya menjalani masa remaja dengan beban yang sulit dijelaskan. "Pathok Pethuk"—dua kata yang menggambarkan pertemuan antara kehidupan dan kematian, realitas dan gaib, keimanan dan kekuatan alam. Saat remaja, hidup saya berubah drastis oleh pengalaman-pengalaman yang tak bisa saya abaikan, sebuah perjalanan batin yang terus mengusik dan memaksa saya untuk bertanya: Siapakah saya sebenarnya di antara semua ini?
Hidup saya selalu berada di persimpangan antara dua dunia—keimanan dan adat istiadat. Sebagai seorang yang tumbuh dengan pengalaman yang sulit dimengerti oleh banyak orang, saya ingin menceritakan kisah ini, meski penuh keraguan dan ketakutan akan penilaian. Blog ini, Pathok Pethuk, adalah tempat di mana saya berusaha merangkai cerita perjalanan saya, yang dimulai dari pertemuan dengan "yang tak terlihat" hingga pergulatan batin untuk memahami apa arti semuanya.
Bagi saya, istilah "Pathok Pethuk" memiliki makna yang begitu dalam. Pathok, sebuah nisan kayu, melambangkan akhir kehidupan. Sedangkan Pethuk, yang berarti bertemu, menggambarkan pertemuan-pertemuan yang tidak terduga antara saya dan mereka yang berada di alam lain. Dua kata ini menjadi simbol perjalanan hidup saya yang penuh dengan pengalaman spiritual yang bertentangan dengan keyakinan dan pemahaman saya tentang dunia.
Semua dimulai ketika saya masih duduk di bangku SMP. Di usia yang seharusnya dipenuhi dengan keceriaan masa remaja, saya justru dihantui oleh teror gaib yang datang tanpa henti. Sosok-sosok yang saya temui bukan sekadar bayangan samar; mereka hadir dengan cerita, permintaan, dan bahkan kesedihan yang terasa nyata. Mereka sering memohon agar saya memahami keberadaan mereka, agar saya "mendengar" apa yang ingin mereka sampaikan.
Namun, keimanan yang saya anut memandang pengalaman ini sebagai sesuatu yang salah dosa besar yang membawa saya menjauh dari Tuhan. Hal ini membuat saya terperangkap dalam rasa bersalah yang begitu dalam, terlebih karena saya tahu iman saya sendiri tidak cukup kuat untuk melawan apa yang saya alami. Di sisi lain, masyarakat adat di sekitar saya melihat kemampuan ini sebagai sesuatu yang sakral, sebuah hubungan dengan alam semesta yang harus dihormati dan dijaga.
Dalam pergulatan ini, saya merasa seperti berada di tengah badai. Ketakutan dan kebingungan menjadi teman sehari-hari. Namun, di balik itu semua, ada dorongan untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi. Siapa mereka yang terus datang meminta tolong? Apa pesan yang ingin mereka sampaikan? Dan yang paling penting, apa arti semua ini untuk saya sebagai seorang remaja yang sedang mencari jati diri?
Memasuki usia baligh, saya mulai melihat pengalaman-pengalaman ini dengan cara yang berbeda. Saya belajar untuk tidak hanya takut, tetapi juga mencoba mencerna pesan-pesan itu dengan perlahan. Meski sulit, saya menyadari bahwa perjalanan ini adalah bagian dari diri saya yang tidak bisa dihindari. Perjalanan yang penuh dengan kontradiksi, antara dosa dan berkah, antara rasa takut dan kekuatan, antara keimanan dan tradisi harus saya hadapi dengan berani.
Pathok Pethuk adalah upaya saya untuk menemukan harmoni di tengah kekacauan ini.
Melalui tulisan ini, saya mengundang Anda untuk menyelami pengalaman yang mungkin terasa asing, namun juga mengajarkan banyak hal tentang kehidupan, spiritualitas, dan pencarian makna. Ini adalah kisah saya—kisah seorang yang mencoba berdamai dengan dunia yang terlihat dan yang tak terlihat.
Tahun 2000-an, kehidupan jauh lebih sederhana. Tidak ada ponsel pintar, apalagi internet di setiap sudut desa. Jika ingin berbicara dengan keluarga jauh, satu-satunya cara adalah melalui wartel—warung telekomunikasi yang menghubungkan suara dari satu kota ke kota lain. Saat itu, aku baru saja pindah bersama keluargaku dari Jakarta ke sebuah dusun kecil di Jawa Tengah, tempat ibuku berasal.