Dalam Estetika Paradoks-nya Prof. Jakob Sumardjo, budaya Sunda dikategorikan sebagai kebudayaan berpola tiga. Artinya, segala wujud budaya Sunda (gagasan/nilai, tindakan/laku, dan karya) terdiri dari tiga unsur. Menurut teori ini, Sunda punya ruang antara. Atas, bawah, tengah. Depan, belakang, tengah. Profan, sakral, profan-sakral. Dan lain sebagainya. Dalam bahasa gender: maskulin, feminim, maskulin-feminim. Namun, "gender ketiga" ini sukar ditemukan perwujudan dalam bentuk yang lebih konkret dalam budaya Sunda. Maskulin-feminim nampaknya lebih merupakan nilai (value) atau kualitas alih-alih ekspresi gender. Apalagi sebagai ekspresi performatif seperti Ambu Wandu, tidak mudah menemukan akar budayanya untuk tidak menyebut tidak ada sama sekali.
Dengan hadirnya Ambu Wandu, musik yang sudah sedemikian kolaboratif, bentuk tarian yang sudah sepenuhnya kreasi baru, UAMP lebih pas disebut sebagai kesenian kontemporer dalam arti yang terkini ketimbang dipaksakan sebagai seni tradisi. Ia telah sangat hibrid dan absortif atas berbagai kebudayaan lain dalam ragam lapisan: gagasan, pola, bentuk, dan gaya.Â
Terlebih, sejumlah kelompok seni telah mampu mengelola UAMP secara lebih profesional seperti entertainer lainnya. Lambat laun, tidak menutup kemungkinan UAMP menjadi industri showbiz di mana Ambu Wandu menjadi bintang paling bersinar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H