Mohon tunggu...
Ridwan Hasyimi
Ridwan Hasyimi Mohon Tunggu... Seniman - Pekerja Seni

Berteater, nari, dan nulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Melacak Ambu Wandu

24 Januari 2022   15:23 Diperbarui: 25 Januari 2022   07:41 1262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bissu Dewata (https://commons.wikimedia.org/wiki/File: Bissu_Dewata_(130208529).jpeg)

Dalam UAMP, sering kali Ambu justru yang paling ditunggu-tunggu. Penonton---dan mungkin juga yang punya hajat---lebih mengapresiasi tingkah centil dan heboh Ambu ketimbang gerakan indah para mamayang (penari perempuan) maupun para penari laki-laki. Saking bintangnya seorang Ambu, pihak yang punya hajat atau Wedding Organizer kadang kala mundut (meminta) kepada kelompok seni ingin di-Ambu-i oleh si B, umpamanya. Sangat jarang ada yang secara khusus ingin di-mamayang-i, dibaksaan, atau dipayungi si Anu.

Taiwan Transgender Triangle (https://commons.wikimedia.org/wiki/File: Taiwan_transgender_triangle.png)
Taiwan Transgender Triangle (https://commons.wikimedia.org/wiki/File: Taiwan_transgender_triangle.png)

Di sisi sebrangnya, ada sebagian masyarakat, bahkan seniman dan budayawan Sunda, yang menolak keberadaan Ambu Wandu. Ada yang karena jijik atau takut. Ada pula yang alasannya lebih argumentatif. Ambu Wandu dianggap menciderai apa yang diyakini sebagai keluhuran adat dan kemurnian tradisi. 

Namun, benarkan UAMP adalah tradisi Sunda yang ajeg turun temurun? Apakah keberadaan Ambu Wandu (trangender) pada UAMP merupakan pengembangan dari tradisi Sunda? Apakah budaya Sunda punya ruang antara untuk transgender?

Menilik dari akar sejarahnya, KMP sebagai akar dari UAMP hari ini mula-mulanya digagas oleh budayawan Sunda Wahyu Wibisana pada tahun 1964 berdasar dari apa sebelumnya telah ada. 

Sebelumnya, pada tahun 1960, R. Rahmat Sukma Saputra, mantan Kepala Urusan Kebudayaan Jawa Barat yang juga seorang penari tayub menggagas prosesi penyambutan calon pengantin laki-laki di kediaman mempelai perempuan. Musik yang digunakan dalam prosesi tersebut berupa gending gamelan degung. Sementara, para penari terdiri dari penari gulang-gulang, penari payung, dan penari baksa. Tidak ada mamayang. 

Penari perempuan baru ikut menari dalam garapan Wahyu Wibisana. Tidak seperti mamayang, Lengser sudah ambil bagian sejak digagas R. Rahmat Sukma Saputra.[ii] Tentu saja ia tampil tanpa pasangan. Tokoh lengser sendiri punya akar tradisi yang kuat, salah satunya dari carita pantun Mundinglaya Dikusumah. Dalam pantun ini, sama sekali tidak dikisahkan ada sosok Ambu Lengser.

Di awal tahun 1900-an ritual adat pernikahan Sunda bisa dijejaki berada di Pendopo Kabupaten atau Kadaleman. Yang dimaksud ritual adat bukan hanya penyambutan calon pengantin, melainkan seluruh rangkaian adat yang bersangkutan dengan penikahan. Sebuah video hitam putih produksi Koloniaal Intituut Amsterdam menunjukan pernikahan Goemari Soepitaningrat, anak Bupati Ciamis R. A. A. Koesoemasoebrata, dengan Moehammad Moesa Soeriakartalegawa, anak Bupati Limbangan (Garut) R. A. Wiratanoedatar VIII. Hajatan ini terjadi pada tahun 1913 [iii] Pada video tersebut, tidak ada prosesi yang kini dikenal dengan UAMP. Pun demikian Lengser dan Ambu, sama sekali tidak ada dalam rekaman.

Sejak digagas sedemikian rupa oleh Wahyu Wibisana, KMP agaknya memang tidak dimaksudkan sebagai sebentuk seni tradisi dengan pakem-pakem rigid. Ia sangat longgar dan adaptif terhadap segala kemungkinan pengembangan. Oleh karenanya, tiap daerah di Jawa Barat, bahkan tiap kelompok seni, punya bentuk yang boleh jadi berbeda. Keterbukaan ini pula yang memungkinkan Ambu Wandu bisa diserap menjadi bagian dari prosesi tersebut. 

Mengapa diserap? Sebab, besar kemungkinan ia merupakan pengaruh budaya populer, yakni waria baik dalam konteks dunia entertainment maupun keberadaan di ruang-ruang lain. Budaya Sunda agaknya tidak punya tradisi transgender seperti Bugis atau Banyumas. Digali lebih jauh ke konsep seks dan gender dalam budaya Sunda pun sukar ditemukan jejak gagasan yang demikian.

Dalam kebudayaan Sunda, perempuan diposisikan lebih mulia ketimbang laki-laki. Dalam sejumlah carita pantun dan mitologi Sunda, perempuan kerap kali menjadi personifikasi atau manifestasi dari kekuatan Adi Kodrati. Sebut saja, Sunan Ambu dan Dewi Sri (Dewi Padi), dua sosok yang secara seks dan gender diyakini sebagai perempuan dan, tentu saja, feminim. Tidak ada ruang antara yang memungkinkan meleburnya gender seperti dalam budaya Bugis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun