Mohon tunggu...
RIDWAN ARDIANSYAH
RIDWAN ARDIANSYAH Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

To be strong and invicible~

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Memperkokoh Pendidikan: Memutus Rantai Kekerasan dalam Dunia Pendidikan Melalui Sinergisme

22 Januari 2024   07:30 Diperbarui: 22 Januari 2024   08:46 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pendidikan sejatinya menjadi salah satu fondasi kehidupan pada diri manusia. Namun dewasa ini, dunia pendidikan Indonesia tercoreng akibat kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah. 

Tak ayal asus kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan dilakukan oleh guru, siswa, bahkan orang tua. Hal ini menjadi stigma di masyarakat tentang peran dan fungsi sekolah. Selain itu, kasus kekerasan yang sering terjadi ini menjadikan daftar panjang di Dinas bahkan hingga Kementrian Pendidikan Indonesia. 

Sejatinya sekolah menjadi tempat untuk menimba ilmu, wadah untuk mewujudkan cita-cita murid, dan tempat belajar dalam bidang sosial, namun kini tercoreng akibat ulah oknum-oknum tertentu. Bentuk kasus kekerasan bermacam-macam meliputi kekerasan fisik, seksual, dan yang tidak disadari dewasa ini adalah kekerasan verbal. 

Selain itu, kasus kekerasan di sekolah sangat bervariasi antara pelaku dan korban, seperti guru kepada siswa, siswa kepada sesama siswa, bahkan yang paling miris adalah kekerasan yang dilakukan siswa kepada guru – menjadi catatan besar bagi dunia pendidikan tentang moralitas siswa saat ini.

Faktor Melakukan Kekerasan.

Apabila kita menilik dari banyaknya kejadian, kekerasan terjadi diakibatkan oleh berbagai faktor seperti ketidakstabilan dalam mengontrol emosi, permasalahan mental yang dialami pelaku dan faktor lingkungan sosial masyarakat. 

Dalam faktor ketidakstabilan dalam emosional kita ambil contoh pada kasus seorang guru di Bengkulu yang diketapel oleh orang tua murid lantaran guru tersebut menghukum muridnya yang kedapatan merokok di lingkungan sekolah. 

Jika kita lihat kasus ini guru memberikan hukuman kepada muridnya setelah mendapati mereka merokok di lingkungan sekolah. Guru tentu menginginkan yang terbaik untuk siswanya, baik dalam hal pendidikan dan nilai-nilai sosial lainnya. Sekolah memiliki perarturan yang harus diindahkan oleh warga sekolah termasuk di dalamnya ada guru dan siswa. 

Namun akibat hukuman yang diberikan oleh guru tersebut tidak diterima siswanya, lantas siswa tersebut melaporkan kepada orang tua dan kemudian orang tua tidak dapat mengontrol emosi karena anaknya dihukum sehingga pelaku yang notabenenya adalah orang tua siswa tersebut akhirnya melakukan aksi kekerasan dengan mengetapel mata guru tersebut. 

Sebenarnya kejadian seperti ini dapat tidak terjadi apabila, orang tua tersebut dapat mengontrol emosi dan melakukan dialog untuk mencari tahu kenapa anaknya dihukum. Komunikasi yang baik dan mencari solusi yang sifatnya win-win solution akan menciptakan keberhasilan antara sekolah dan orang tua untuk mendidik anak dan menjadikan generasi bangsa yang berkualitas dan bermoral.

Pada faktor mentalitas pelaku dan faktor lingkungan memiliki kesinambungan yang dapat menjadikannya sebagai faktor untuk melakukan tindak kekerasan di sekolah. Kasus bullying terjadi akibat totonan sinema atau gim yang mempertontonkan aksi kekerasan dan itu disaksikan oleh siswa melalui gawai dan aplikasi yang mereka miliki. 

Kemajuan teknologi yang sangat pesan memberikan dampak luar biasa pada perkembangan anak Indonesia. Seluruh lapisan masyarakat yang di dalamnya termasuk anak-anak, dapat dengan mudah mengakses informasi dan siaran di internet. Apalagi anak SD sudah dibelikan gawai oleh orang tua. Ditambah beberapa tahun lalu pendidikan Indonesia menjadi kacau akibat pandemi Covid-19 yang mengubah tatanan kehidupan termasuk pendidikan berbasis daring. 

Saat itu pendidikan dilaksanakan melalui daring, hal ini menjadikan orang tua harus menyediakan fasilitas seperti gawai demi kelancaran pendidikan anak mereka. Alih-alih untuk memperlancar kegiatan belajar mereka, namun anak memanfaatkan gawai tersebut untuk kegiatan yang lainnya seperti menonton serial drama dan bermain game. 

Terkadang orang tua terlena dalam mengawasi anak saat menggunakan gawai mereka, sehingga tontonan mereka keluar dari zona pendidikan. Ketika pandemi usai, perubahan sikap pada siswa berubah secara drastis. 

Anak menjadi antipati dan agresif akibat sugesti yang diterima dari tontonan yang sering mereka lihat. Kasus-kasus bullying terjadi akibat meniru aksi bullying yang sering dipertontonkan pada serial drama Korea yang memang saat ini menjadi tren dikalangan anak muda. 

Hasil dari yang mereka tonton kemudian mereka aplikasikan pada kehidupan nyata khususnya di sekolah. Sehingga banyak bermunculan aksi-aksi kekerasan yang pelakunya adalah siswa dan korbannya juga dari siswa.

Dari banyaknya kejadian-kejadian kekerasan yang terjadi, tentu harus menjadi evaluasi bersama antara guru dan orang tua serta pejabat pendidikan yang menjadi naungan dunia pendidikan di Indonesia. Sehingga harapan generasi emas Indonesia di tahun 2045 dapat terwujud dengan baik sejak kini.

Nilai-nilai Pendidikan

Apakah nilai-nilai pendidikan saat ini terkikis dan hilang? Tentu tidak, jika seluruh elemen pendidikan (guru, siswa, orang tua, dan pemangku kebijakan pendidikan) sudi untuk bersinergi dalam menciptakan dunia pendidikan yang baik dan bermartabat.

Perubahan zaman kini sangatlah pesat. Apabila kita sebagai individu tidak memiliki mental dan sikap yang siap untuk memilah mana nilai positif dan mana nilai negatif maka akan sia-sia hidup kita. Pendidikan Indonesia zaman dulu dan sekarang sangat berbeda. Sikap dan etika pelajar zaman dulu berbeda. 

Pola pendidikan dan pola asuh zaman dulu dengan sekarang tentu juga berbeda. Nilai luhur dan budi pekerti yang dipegang oleh siswa zaman dulu saat era Ki Hadjar Dewantara tentu berbeda dengan sekarang. Semua ini terjadi lantaran efek globalisasi yang mana aksesibilitasnya sangat luas tanpa ada batas ruang dan waktu.

Keluarga sejatinya adalah tempat pendidikan pertama dan utama sebelum seorang anak mendapatkan pendidikan formal. Pendidikan sosial dan pembentukan karakter diajarkan pada lingkungan keluarga dan orang tua adalah guru bagi anak-anaknya. 

Melalui kegiatan interaksi dengan anggota keluarga, seperti kepada orang tua dan saudara telah mengajarkan anak bagaimana bersosial dan berinteraksi sebelum mereka terjun ke masyarakat. Nilai-nilai sosial tumbuh dan lahir dari pendidikan keluarga yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak. 

Orang tua sebagai guru, panutan dan pemberi teladan serta penuntun dan anak sebagai pemelajar sekaligus peniru. Oleh sebab itu, karakter anak lahir sesuai dengan lingkungan keluarga mereka. Sehingga kasus-kasus kekerasan tidak akan terjadi apabila orang tua mampu mendidik dan membangun karakter anak secara positif dan berkesinambungan.

Selain keluarga, seorang anak akan terjun di masyarakat sebagai makhluk sosial. Hubungan relasi anak dengan teman dan tetangga juga memberikan pengajaran dalam hal bersosial untuk menentukan nilai-nilai sosial yang didapatkan. 

Masyarakat lahir atas interaksi dan hubungan antar individu yang hidup bersama dan berdampingan dalam satu wilayah tertentu. Di dalamnya terdapat budaya sebagai pembentuk identitas masyarakat tersebut dengan menjunjung tinggi nilai luhur adat istiadat yang berlaku. Karakter anak juga dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dengan pembiasaan yang berlaku. 

Misalnya, apabila anak terlahir di lingkungan masyarakat pemabuk, maka tidak menutup kemungkinan anak tersebut akan menjadi pemabuk juga, dan begitu sebaliknya apabila anak terlahir pada lingkungan masyarakat yang positif, maka nilai-nilai positi akan mereka dapatkan dan menentukan pola pikirnya. 

Contoh lainnya seperti di kota-kota besar seperti Jakarta, aktivitas tawuran marak terjadi karena beberapa kampung yang ada di Jakarta lumrah melakukan aksi tawuran antar kampung. Hal ini menjadi contoh buruk bagi anak, sehingga muncullah kasus tawuran pelajar yang kadang memakan korban jiwa.

Sehingga dapat kita sepakati bahwa pembentukan karakter pada anak atau siswa dimulai dari keluarga sebagai lingkungan pertama anak mengenal dunia. Orang tua sebagai teladan bagi anak-anaknya tentu harus memiliki kapabilitas yang mumpuni supaya anaknya menjadi generasi yang dapat diandalkan di masa depan. Sekolah dan guru juga harus mampu bersinergi demi keberhasilan anak atau siswa mereka supaya nilai-nilai luhur tetap terjaga dan dapat diturunkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun