Mohon tunggu...
Muhammad Ridwan
Muhammad Ridwan Mohon Tunggu... Relawan - Fungsionaris DPP Aliansi Nasional Indonesia Sejahtera (ANIES)

Orang biasa saja, seorang ayah, sejak tahun 2003 aktif dalam kegiatan community development. Blog : mediawarga.id e-mail : muh_ridwan78@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ulama Bukan "Makelar Ummat", Tanggapan untuk Robbi Gandamana

17 Oktober 2016   20:11 Diperbarui: 18 Oktober 2016   00:24 2346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Ulama: Tengku Zulkarnain, Wasekjen MUI (Sumber: tengkuzulkarnain.net)

Ulama di Indonesia saat ini benar-benar sedang diuji, fitnah terus diarahkan baik kepada individu maupun organisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI). Berbagai opini negatif terkait ulama ramai diperbincangkan di media sosial dan media online.

Fitnah kepada MUI yang hangat dibahas diantaranya: MUI menggelapkan dana sertifikasi halal sebesar 240 triliun; MUI dituduh menjadi kendaraan politik tertentu seperti yang ditulis Ade Armando di media sosial, Senin (17/10); terakhir ada tulisan di Kompasiana.com dengan judul "Ulama Jangan Jadi Makelar Umat" yang ditulis oleh Kompasianer Robbi Gandamana, walaupun tulisannya mengutip wejangan Emha Ainun Najib atau Cak Nun, namun tulisan tersebut sangat mengecilkan peran ulama dalam masyarakat Islam.

Sebagai Muslim, jujur saya prihatin dengan berbagai fitnah yang menerpa ulama. Kenapa saya harus prihatin?

Kita simak dulu tulisan Mas Robbi Gandamana (Silahkan Klik disini untuk membacanya). Dalam tulisannya mas Robbi Gandamana mengutip pernyataan Cak Nun sebagai berikut:

"Kenapa perlu menggalakan taddabur? Karena umat Islam sekarang tergantung pada ahli tafsir. Kita semua dibuat merasa tidak paham Al Qur'an. Kita tidak pernah dimerdekakan untuk otentik bergaul dengan Allah dan Al Qur'an. Kita harus selalu pakai makelar: ulama, kyai, ustadz, dst. Mereka menjadi 'makelar' di antara kita dan Al Quran, di antara kita dan Allah".

Selanjutnya ada kutipan:

"Susahnya pimpinan-pimpinan agama suka bertempat di situ. Menjadi 'gerhana' di antara Tuhan dengan umatnya. Karena di situ ada jabatan, kepemimpinan, akses eksistensi dan ekonomi".

Baiklah itu kutipan dari Cak Nun yang tidak diragukan lagi pemahamannya tentang Islam, lah kita ini opo? Cuma masyarakat biasa yang terbatas memahami agama Islam. Sudah begitu "gak pernah nyantri" atau sekolah agama Islam.

Ilmu agama yang secara formal kita terima cuma dua JPL di sekolah dasar atau sekolah menengah setiap minggu, serta dua SKS di perguruan tinggi dalam mata kuliah dasar umum. Inilah resikonya hidup di negara yang tidak mengutamakan pelajaran tauhid, jadi terbatas pemahaman agama kita.

Lalu, kemana kita mendapat tambahan pengetahuan agama Islam? Tentu kepada ulama. Belajar agama Islam kepada keluarga, teman dekat atau membaca buku memang bisa, tapi apakah bisa utuh pemahaman Islam kita?

Kemudian soal tafsir menafsir Al-Quran dan hadist. Apakah semua orang berhak menafsirkan Al-Quran dan hadist? Tentu saja tidak. Seperti Nusron Purnomo yang ternyata suka "maen gaple", apakah layak menafsir ayat Al-Quran dan hadist? Apalagi kita dengan pengetahuan terbatas soal Islam yang hanya menerima 2 JLP atau 2 SKS pendidikan agama di sekolah formal.

Seandainya tidak ada ulama maka Ummat Islam akan menggunakan "gaya bebas" dalam menjalankan ibadah dan mua'amalah sehari-hari.

Secara bahasa, kata ulama adalah bentuk jamak dari kata ‘alim عالم yang memiliki pengertian orang yang berilmu. Maka pengertian علماء‘ ulama adalah orang-orang yang punya ilmu.

Ulama bisa dipahami sebagai orang yang memadukan pengetahuannya dengan pengamalannya. Oleh karena itu posisi ulama sangat mulia dalam agama Islam sebagaimana disebutkan di dalam salah satu hadist :

وَإِنَّالْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوادِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْ

Artinya: "Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi dan sesungguhnya nabi tidak mewariskan dinar dan tidak pula dirham akan tetapi iya mewariskan ilmu".(Hadits ini diriwayatkan Al-Imam At-Tirmidzi di dalam Sunan beliau no. 2681, Ahmad di dalam Musnad-nya (5/169), Ad-Darimi di dalam Sunan-nya (1/98), Abu Dawud no. 3641, Ibnu Majah di dalam Muqaddimahnya dan dishahihkan oleh Al-Hakim dan Ibnu Hibban. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah mengatakan: “Haditsnya shahih.” Lihat kitab Shahih Sunan Abu Dawud no. 3096, Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2159, Shahih Sunan Ibnu Majah no. 182, dan Shahih At-Targhib, 1/33/68)

Selain masalah ketinggian derajat para ulama, Al-Quran juga menyebutkan dari sisi mentalitas dan karakteristik, bahwa para ulama adalah orang-orang yang takut kepada Allah. Sebagaimana disebutkan di dalam Surat Fatir ayat 28 :

وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّوَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْعِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُور

Artinya: "Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun".

Maka tidaklah merupakan sesuatu yang mustahil jika ulama adalah orang yang sangat tinggi ilmunya, utamanya ilmu agama, karena ulama adalah pewaris nabi dan meneruskannya kepada Ummat Islam.

Jadi, ketika seorang Muslim meragukan keilmuan ulama dalam memutuskan suatu "fatwa" terkait kemaslahatan ummat, maka secara tidak langsung mengingkari kepercayaan agamanya.

Ulama bertugas untuk mengayomi, membina dan membimbing Ummat Islam baik dalam masalah-masalah agama maupun masalah sehari-hari yang diperlukan, baik dari sisi keagamaan maupun sosial kemasyarakatan.

Mereka adalah individu yang memahami syariat Islam secara menyeluruh (kaaffah) sebagaimana terangkum dalam Al-Quran dan ''as-Sunnah' dan menjadi teladan umat Islam dalam memahami serta mengamalkannya.

Jika teladan Ummat Islam tersebut sudah "dilecehkan", apakah anda yang mengaku sebagai muslim hanya diam saja?

Bayangkan jika kedua orangtua kita yang juga menjadi teladan dilecehkan orang lain. Pasti anda semua akan marah, karena ini terkait "marwah" atau harga diri keluarga kita.

Begitupun ulama, dalam agama Islam kedudukan dan peran mereka sangat penting dalam masyarakat Islam. Menghina dan menistakan ulama, berarti secara tidak langsung, merendahkan "marwah" agama Islam.

Kalaupun anda ingin menafsirkan sendiri Al-Quran, hadist maupun aturan lainnya dalam agama Islam silahkan saja, jika "alatnya" sudah cukup. Alat disini tentu saja adalah ilmu.

Menjadi ahli tafsir dan ahli hadist tidaklah mudah. Selain pengetahuan agama yang cukup, tentu kesalihan pribadi menjadi faktor utama. Tidak mungkin seorang yang suka "melotot" ketika sedang berbicara dengan orang lain, seperti Nusron Purnomo layak disebut "ahli tafsir" he..he.

Kesimpulannya, ulama bukanlah "makelar ummat" ataupun menjadi "gerhana" kaitannya dengan "hablumminallah". Ulama adalah penerus cahaya pengetahuan yang diwariskan dari Rosulullah Muhammad SAW, supaya tidak padam dimuka bumi ini.

Kemudian, tuduhan terhadap ulama bagian dari kepentingan politik tertentu sangat tidak berdasar. Jika dihubungkan dengan fatwa MUI yang menyatakan Ahok telah menistakan Al-Quran, ini bukan manuver politik, tapi murni kewenangan MUI sesuai dengan tugasnya mengeluarkan fatwa terkait kemaslahatan Ummat Islam.

Seharusnya kita mengucapkan terima kasih kepada ulama karena mampu meredam kemarahan Ummat Islam terkait pernyataan Ahok di Kepulauan Seribu beberapa waktu lalu. Karena dengan fatwa ini, MUI telah berhasil mengkanalisasi persoalan Ahok ini ke ranah hukum, sehingga Ummat Islam tidak berbuat anarkis.

Selanjutnya, terkait berita bahwa MUI telah "menilep" dana sertifikasi halal sebesar 240 triliun, ini adalah fitnah yang sangat keji.

Status Harja Saputra di media sosial menjelaskan dengan gamblang bahwa berita tersebut "hoax". Harja Saputra adalah seorang tenaga ahli di DPR-RI. Berikut tulisannya di media sosial pada Sabtu (15/10):

"Saya lihat banyak org sebar berita tentang jumlah uang yg dihasilkan MUI dari sertifikasi halal yg katanya capai 240 triliun. Bahkan di berita lain capai 480 triliun.

Pertama, berita yang disebar hanya mengutip ucapan anggota DPR, M. Baghowi. Penting dicatat, di Komisi VIII DPR RI yang sekarang tidak ada nama M. Baghowi. Bahkan di DPR tidak ada nama itu. Beliau anggota DPR periode lalu (berakhir tahun 2014). Saya tahu karena hampir tiap hari di komisi VIII. Sampai pojok2nya komisi 8 saya hapal.

Kedua, tahun berita pernyataan Baghowi adalah berita tahun 2013 yang tentunya kondisinya beda dgn taun sekarang.

Banyak situs abal-abal yang menulis kembali secara utuh berita tahun 2013 itu tanpa dicek lagi.

Ketiga, jumlah 240 Triliun bukan pemasukan riil tetapi potensi pemasukan. Yang namanya potensi uang parkir juga kalau dihitung bisa besar juga. Coba aja ente2 kalikan kalau semua mobil parkir dikali sekian jam dikalikan 4000 rupiah per jam. Parkir sehari bisa berapa tempat dan berapa jam tuh. Kalau bicara potensi ya begitu logikanya. Tapi ngitung potensi pasti tdk sama dengan kenyatannya.

Sama kayak kita hidup. Potensi kita hidup bisa lebih dari 100 tahun. Tapi siapa tahu kita besok meninggal yang baru umur 30 tahunan.

Keempat, tentang sertifikasi halal sudah ada UU Nomor 33 Tahun 2014. Di Undang-undang itu ada amanat agar sertifikasi halal dikelola oleh badan khusus bukan lagi MUI tapi BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal).

Paling lambat 17 Oktober 2017 Badan itu sudah harus berdiri. Itu amanat UU. Sampai sekarang belum ada tanda-tanda berdiri itu badan. Bahkan Peraturan Pelaksana dari UU yang harus dikeluarkan pemerintah paling lambat 17 Oktober 2016 pun belum ada tanda2 keluar juga. Seminggu lagi padahal tgl 17 oktober itu".

(Sumber:https://www.facebook.com/harja.saputra?fref=ts)

Mudah-mudahan keterangan diatas bisa meluruskan berita yang simpang-siur terkait dana sertifikasi halal MUI, sehingga Ummat Islam tidak tersesat terhadap informasi yang sengaja disebarkan untuk mendiskreditkan ulama.

Ulama adalah manusia biasa juga, pasti ada kesalahan. Tidak "maksum" seperti halnya Nabi Muhammad SAW. Kalaupun ada ulama yang bermasalah, jika ditilik, ternyata itu bukan benar-benar Ulama. Seperti kasus Taat Pribadi, Gatot Brajamusti atau yang mengaku ulama padahal hanya dukun semata. Tidak mungkin ulama memiliki sifat  jahat.

Saya yakin para ulama sudah memaafkan orang-orang yang memfitnahnya. Bahkan ulama pasti mendoakan orang-orang tersebut.

Tapi jika soal aqidah dan keimanan, mengutip KH. Tengku Zulkarnaen, Wakil Sekjen MUI: "Ulama lebih baik mati jika harus mencabut kembali fatwa penistaan agama Islam oleh Ahok". Karena menurutnya ini sudah keputusan bulat MUI yang didukung oleh puluhan Ormas Islam, bahkan dikuatkan oleh fatwa Majelis Ulama Internasional.

Terakhir, saya hanya ingin beristighfar kepada Allah jika tulisan ini kurang layak dibaca dan tidak berdasar. Hanya kepada Allah saya memohon ampun.

Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba. Akan tetapi Dia mencabutnya dengan diwafatkannya para ulama sehingga jika Allah tidak menyisakan seorang alim pun, maka orang-orang mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh. Kemudian mereka ditanya, mereka pun berfatwa tanpa dasar ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Al-Bukhari no. 100 dan Muslim no. 2673)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun