"Saya lihat banyak org sebar berita tentang jumlah uang yg dihasilkan MUI dari sertifikasi halal yg katanya capai 240 triliun. Bahkan di berita lain capai 480 triliun.
Pertama, berita yang disebar hanya mengutip ucapan anggota DPR, M. Baghowi. Penting dicatat, di Komisi VIII DPR RI yang sekarang tidak ada nama M. Baghowi. Bahkan di DPR tidak ada nama itu. Beliau anggota DPR periode lalu (berakhir tahun 2014). Saya tahu karena hampir tiap hari di komisi VIII. Sampai pojok2nya komisi 8 saya hapal.
Kedua, tahun berita pernyataan Baghowi adalah berita tahun 2013 yang tentunya kondisinya beda dgn taun sekarang.
Banyak situs abal-abal yang menulis kembali secara utuh berita tahun 2013 itu tanpa dicek lagi.
Ketiga, jumlah 240 Triliun bukan pemasukan riil tetapi potensi pemasukan. Yang namanya potensi uang parkir juga kalau dihitung bisa besar juga. Coba aja ente2 kalikan kalau semua mobil parkir dikali sekian jam dikalikan 4000 rupiah per jam. Parkir sehari bisa berapa tempat dan berapa jam tuh. Kalau bicara potensi ya begitu logikanya. Tapi ngitung potensi pasti tdk sama dengan kenyatannya.
Sama kayak kita hidup. Potensi kita hidup bisa lebih dari 100 tahun. Tapi siapa tahu kita besok meninggal yang baru umur 30 tahunan.
Keempat, tentang sertifikasi halal sudah ada UU Nomor 33 Tahun 2014. Di Undang-undang itu ada amanat agar sertifikasi halal dikelola oleh badan khusus bukan lagi MUI tapi BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal).
Paling lambat 17 Oktober 2017 Badan itu sudah harus berdiri. Itu amanat UU. Sampai sekarang belum ada tanda-tanda berdiri itu badan. Bahkan Peraturan Pelaksana dari UU yang harus dikeluarkan pemerintah paling lambat 17 Oktober 2016 pun belum ada tanda2 keluar juga. Seminggu lagi padahal tgl 17 oktober itu".
(Sumber:https://www.facebook.com/harja.saputra?fref=ts)
Mudah-mudahan keterangan diatas bisa meluruskan berita yang simpang-siur terkait dana sertifikasi halal MUI, sehingga Ummat Islam tidak tersesat terhadap informasi yang sengaja disebarkan untuk mendiskreditkan ulama.
Ulama adalah manusia biasa juga, pasti ada kesalahan. Tidak "maksum" seperti halnya Nabi Muhammad SAW. Kalaupun ada ulama yang bermasalah, jika ditilik, ternyata itu bukan benar-benar Ulama. Seperti kasus Taat Pribadi, Gatot Brajamusti atau yang mengaku ulama padahal hanya dukun semata. Tidak mungkin ulama memiliki sifat  jahat.