Adanya disparitas angka kemiskinan antara data BPS dan data lainnya menjadi sebuah diskursus. Berbagai kalangan, mulai akademisi, politisi sampai masyarakat sendiri sering mengkritisi indikator kemiskinan BPS.
Seperti pendapat Ekonom Hendri Saparini, yang dikutip Kompas, Edisi 2 Juli 2008, menggunakan beras sebagai barometer pengukur angka kemiskinan merupakan penyederhanaan persoalan. Walaupun ada program raskin (beras untuk keluarga miskin—Red) dan bantuan langsung tunai guna menutupi kebutuhan 2.000 kalori per hari untuk konsumsi, tapi hal tersebut belum memperhitungkan kualitas hidup masyarakat.
BPS mengakui Indeks Kemiskinan Multidimensi pernah diuji coba. Melalui Direktur Analisis dan Pengembangan Statistik, Sentot Bangun Widoyono, BPS pernah menggunakan indikator baru tersebut namun belum secara penuh. Hal ini tidak bisa dilakukan BPS, karena persoalan kesepakatan nasional.
“Soal parameter kemiskinan, semua bisa berpendapat ya. Tinggal ada kesepakatan nasional nggak? Karena kalau kita bicara minimum basic needs kan itu juga kesepakatan nasional,” kata Sentot, mengutip BBC Indonesia.
Sebenarnya tidak hanya BPS yang telah menggunakan IKM ini. Kementerian Pekerjaan Umum melalui Program Penanganan Kawasan Kumuh Perkotaan (P2KKP) juga menggunakan IKM untuk melakukan pemetaan warga miskin dan kawasan kumuh walaupun hanya menggunakan 7 indikator yakni, keteraturan bangunan, sarana sanitasi, air bersih, akses jalan, drainase, persampahan dan pencegahan kebakaran.
Politisasi Angka Kemiskinan
Angka kemiskinan memang sering menjadi “alat politik”. Apalagi menjelang tahun politik seperti Pilpres. Angka kemiskinan selalu di politisasi.
Angka kemiskinan yang tinggi selalu dijadikan alat untuk menyerang Pemerintah yang sedang berkuasa oleh partai oposisi maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Sebaliknya, angka-angka statistik kemiskinan yang cenderung menurun (diluar valid atau tidak datanya), dijadikan propaganda atau “klaim” Pemerintah berkuasa kepada rakyat dan lawan politik, bahwa program pengurangan kemiskinan berhasil.
Konsensus Nasional
Memang dibutuhkan keberanian dari Pemerintah menjadikan IKM ini menjadi dasar penghitungan kembali angka kemiskinan di Indonesia. Hal ini untuk mendapatkan data kemiskinan yang berkualitas dan valid. Diperlukan konsensus nasional menjadikan IKM sebagai indikator kemiskinan nasional.