[caption caption="Keluarga Pemulung, potret kemiskinan di Ibukota Indonesia Jakarta. Dengan menggunakan IKM, sebanyak 30% atau sekira 75 juta penduduk Indonesia mengalami kemiskinan pada 2014. Jumlah ini hampir tiga kali lipat dari kemiskinan ekonomi versi BPS (Dok. Bataranews.com)."][/caption]Tahun 2006, terjadi kontroversi, ketika Bank Dunia meluncurkan laporan kemiskinan yang berjudul “Era Baru Pengentasan Kemiskinan di Indonesia” yang di dalamnya mengungkapkan bahwa jumlah orang miskin di Indonesia hampir separuhnya dari jumlah penduduk Indonesia. Sedangkan waktu itu Badan Pusat Statistik (BPS) mengeluarkan data kemiskinan sekitar 39,1 juta orang dengan standar Indikator kemiskinan yang berbeda dengan Bank Dunia.
Dilansir Majalah Tempo (21/01/07), Ekonom Bank Dunia, DR. Vivi Alatas, dalam artikelnya menguraikan jawaban dari dua pertanyaan besar yang selama ini menjadi kontroversi seputar data kemiskinan yang dikeluarkan oleh Bank Dunia.
Pertama, Kenapa data kemiskinan Bank Dunia jauh lebih tinggi dibandingkan data BPS? Kedua, kriteria kemiskinan apa yang digunakan oleh Bank Dunia?
Dalam artikel DR. Vivi Alatas, terungkap bahwa Bank Dunia mengunakan dua kriteria dalam menentukan garis kemiskinan. Pertama, menggunakan garis kemiskinan nasional yang didasarkan pada pola konsumsi 2.100 kalori per hari. Kedua, garis kemiskinan internasional berdasarkan PPP (purchasing power parity) US$ 1 dan US$ 2. Bank Dunia menggunakan keduanya, masing - masing untuk tujuan analisis yang berbeda.
Garis kemiskinan nasional yang dikeluarkan BPS yang berdasarkan pola konsumsi, digunakan Bank Dunia untuk menganalisis profil kemiskinan, penyebab kemiskinan dan telaah strategi atau program antikemiskinan di sebuah Negara.
Namun, karena parameter kemiskinan yang digunakan oleh suatu negara tidak bisa digunakan oleh negara lain, maka Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan internasional dalam bentuk nilai tukar PPP US$ 1 dan US$ 2, sebagai standar internasional yang bisa diterapkan diseluruh negara.
Nilai tukar PPP 1 US$ mempunyai pengertian berapa rupiah yang diperlukan untuk membeli barang dan jasa, yang bisa di beli dengan satu dollar di Amerika Serikat. Nilai tukar ini dihitung secara berkala dari data harga dan kuantitas konsumsi sejumlah barang dan jasa untuk setiap Negara.
Dari perhitungan tersebut ditemukan bahwa 7,4 persen penduduk Indonesia mengkonsumsi di bawah PPP US$ 1 per hari dan 49 persen di bawah PPP US$ 2 per hari.
Angka 49 persen tingkat kemiskinan inilah yang jadi kontroversi, namun angka ini, menurut Bank Dunia jauh lebih baik dibandingkan tahun 1999, dimana sekitar 75 persen masyarakat Indonesia mengkonsumsi di bawah PPP US$ 2 per hari.
Di Asia Tenggara, tahun 2005, tingkat kemiskinan PPP US$ 1 Indonesia sebanding dengan China (8 persen), sedikit di bawah Filipina (9,6 persen) dan sedikit di atas Vietnam (6,2 persen). Namun untuk posisi dengan standar US$ 2 per hari, Indonesia jauh lebih tinggi (49 persen), Bandingkan dengan konsumsi PPP US$ 2 China (26 persen), Filipina (39,3 persen) dan Vietnam (39,7 persen).
Dari data tersebut, bisa dianalisa, ada gap pendapatan yang sangat besar antara pendapatan US$ 1 (7,4 persen) dengan pendapatan di bawah US$ 2 (49 persen) di Indonesia.
Menurut DR. Vivi Alatas, besarnya selisih pendapatan US$ 1 dengan pendapatan US$ 2 atau 41,6%, mencerminkan tingginya kerentanan kemiskinan di Indonesia. Jadi, ada sekita 41,6% rakyat Indonesia rentan jatuh miskin, karena sejumlah besar hidup diantara pendapatan US$ 1 dan US$ 2 atau setara dengan US$ 1,5 per hari.
Indeks Kemiskinan Multidimensi
Empat tahun kemudian, atau tahun 2010, Universitas Oxford, Inggris, bersama United Nation Development Programme (UNDP) mengeluarkan sebuah indeks kemiskinan baru yang disebut Indeks Kemiskinan Multidimensi atau IKM. Dengan IKM, pendapatan diatas US$ 2 bukan lagi menjadi standar pengukuran kemiskinan.
Seperti contoh, Pedagang Siomay yang pendapatan bersihnya lebih dari Rp. 50 ribu perhari, namun rumah yang ditempatinya tidak luas, sangat sederhana dan tinggal di kawasan kumuh. Apabila menggunakan pengukuran garis kemiskinan versi Bank Dunia yang berpatokan pada pendapatan sebesar US$1 - US$2 atau sekira Rp 27.000 rupiah per hari, Pedagang Siomay tersebut masuk dalam kategori mampu. Namun berdasarkan Indeks Kemiskinan yang baru, Pedagang Siomay dikategorikan sebagai warga miskin.
IKM tidak hanya mengukur tingkat kemiskinan dari pendapatan, tapi memperhitungkan juga kondisi rumah tinggal sebagai salah satu dari 11 indikator.
Ukuran Multidimensi
Seperti dilansir BBC Indonesia, Kamis (11/02/2016), Setyo Budiantoro, selaku peneliti senior Perkumpulan Prakarsa, mengatakan IKM menghitung kemiskinan dengan memakai tiga dimensi, yakni pendidikan, kesehatan, dan kualitas kehidupan.
Dari tiga dimensi itu terdapat 11 indikator, antara lain gizi, akses pendidikan, kondisi tempat tinggal, lama sekolah, sanitasi, air bersih, dan sumber penerangan. Pada dasarnya Indeks Kemiskinan Multidimensi melihat basic needs manusia.
Setyo Budiantoro berpendapat, kemiskinan bukan sekadar uang, tapi juga soal kapabilitas manusia yang seharusnya bisa berkembang namun karena terkerangkeng oleh persoalan-persoalan mendasar, dia kemudian tidak bisa mengembangkan diri.
Menurutnya, dengan menggunakan IKM, sebanyak 30% atau sekira 75 juta penduduk Indonesia mengalami kemiskinan pada 2014. Jumlah ini hampir tiga kali lipat dari kemiskinan versi BPS.
Seperti diketahui, BPS telah melansir data kemiskinan per bulan September 2014 yakni 27,73 juta jiwa yang berarti sekitar 10,96 persen penduduk Indonesia secara keseluruhan.
Adanya disparitas angka kemiskinan antara data BPS dan data lainnya menjadi sebuah diskursus. Berbagai kalangan, mulai akademisi, politisi sampai masyarakat sendiri sering mengkritisi indikator kemiskinan BPS.
Seperti pendapat Ekonom Hendri Saparini, yang dikutip Kompas, Edisi 2 Juli 2008, menggunakan beras sebagai barometer pengukur angka kemiskinan merupakan penyederhanaan persoalan. Walaupun ada program raskin (beras untuk keluarga miskin—Red) dan bantuan langsung tunai guna menutupi kebutuhan 2.000 kalori per hari untuk konsumsi, tapi hal tersebut belum memperhitungkan kualitas hidup masyarakat.
BPS mengakui Indeks Kemiskinan Multidimensi pernah diuji coba. Melalui Direktur Analisis dan Pengembangan Statistik, Sentot Bangun Widoyono, BPS pernah menggunakan indikator baru tersebut namun belum secara penuh. Hal ini tidak bisa dilakukan BPS, karena persoalan kesepakatan nasional.
“Soal parameter kemiskinan, semua bisa berpendapat ya. Tinggal ada kesepakatan nasional nggak? Karena kalau kita bicara minimum basic needs kan itu juga kesepakatan nasional,” kata Sentot, mengutip BBC Indonesia.
Sebenarnya tidak hanya BPS yang telah menggunakan IKM ini. Kementerian Pekerjaan Umum melalui Program Penanganan Kawasan Kumuh Perkotaan (P2KKP) juga menggunakan IKM untuk melakukan pemetaan warga miskin dan kawasan kumuh walaupun hanya menggunakan 7 indikator yakni, keteraturan bangunan, sarana sanitasi, air bersih, akses jalan, drainase, persampahan dan pencegahan kebakaran.
Politisasi Angka Kemiskinan
Angka kemiskinan memang sering menjadi “alat politik”. Apalagi menjelang tahun politik seperti Pilpres. Angka kemiskinan selalu di politisasi.
Angka kemiskinan yang tinggi selalu dijadikan alat untuk menyerang Pemerintah yang sedang berkuasa oleh partai oposisi maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Sebaliknya, angka-angka statistik kemiskinan yang cenderung menurun (diluar valid atau tidak datanya), dijadikan propaganda atau “klaim” Pemerintah berkuasa kepada rakyat dan lawan politik, bahwa program pengurangan kemiskinan berhasil.
Konsensus Nasional
Memang dibutuhkan keberanian dari Pemerintah menjadikan IKM ini menjadi dasar penghitungan kembali angka kemiskinan di Indonesia. Hal ini untuk mendapatkan data kemiskinan yang berkualitas dan valid. Diperlukan konsensus nasional menjadikan IKM sebagai indikator kemiskinan nasional.
Dengan data kemiskinan yang berkualitas dan valid, pemerintah bisa menyusun program kerja yang benar-benar menyentuh akar persoalan kemiskinan dan mempersempit kesenjangan sosial di Indonesia yang semakin melebar.
Desember 2015, Bank Dunia melansir “Gini Ratio” Indonesia naik pesat dalam 15 tahun terakhir. (Baca: Ketimpangan Sosial di Indonesia Semakin Lebar)
Naik dari nilai 30 pada tahun 2000 menjadi 41 pada tahun 2013. Hal ini menggambarkan tingkat ketimpangan antara penduduk kaya dan miskin di Indonesia relatif tinggi dan naik lebih pesat, khususnya dalam hal pendapatan.
Beranikah Pemerintahan Jokowi menggunakan Indikator Kemiskinan Multidimensi ini sebagai parameter menghitung ulang data kemiskinan di Indonesia?
Oleh: Muhammad Ridwan
Konsultan Program Penanganan Kawasan Kumuh Perkotaan (P2KKP) Provinsi Lampung dan Citizen Reporter di Mediawarga.info
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H